Minggu, 07 Juli 2013

ROHIṆĪ-JĀTAKA

“Teman yang bodoh,” dan seterusnya. 

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang seorang pelayan wanita dari Saudagar Anāthapiṇḍika. Dikatakan bahwa ia mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama Rohinī. Ibunya yang sudah tua mendatangi tempat gadis itu menumbuk padi dan berbaring di sana. Lalat-lalat mengerumuninya dan menyengatnya dengan sengatan yang setajam jarum, ia pun berseru kepada anak perempuannya, “Lalat-lalat sedang menyengatku, Anakku, usirlah mereka!” “Oh, mereka akan segera saya usir, Bu,” jawab gadis tersebut, ia lalu mengangkat alu ke arah lalat-lalat yang hinggap pada ibunya. Ia berseru, “Saya akan membunuh mereka!”, dan menghantam ibunya dengan sebuah pukulan seperti hendak membunuh wanita tua tersebut seketika itu juga. Melihat akibat perbuatannya, gadis itu mulai menangis dan berseru, “Oh, Ibu, Ibu!”
Kabar itu terdengar oleh sang saudagar, yang kemudian membakar jasad wanita tersebut. Ia kemudian pergi ke wihara dan menceritakan kejadian itu kepada Sang Guru. “Ini bukan pertama kalinya, Tuan perumah-tangga,” jawab Sang Guru, “keinginan Rohinī untuk membunuh lalat-lalat yang hinggap pada ibunya, membuat ia memukul ibunya hingga meninggal dengan menggunakan sebuah alu. Ia melakukan hal yang sama di kehidupan yang lampau.” Atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang saudagar kaya, yang kemudian menggantikan posisinya setelah ayahnya meninggal. Ia juga mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama Rohinī. Dan ibunya, dengan kejadian yang sama, pergi ke tempat dimana anaknya sedang menumbuk padi, dan berbaring di sana, kemudian berseru, “Usir lalat-lalat ini, Anakku,” dan dengan cara yang sama Rohinī memukul ibunya dengan sebuah alu; membuat ibunya meninggal seketika itu juga, dan mulai menangis.
Mendengar apa yang telah terjadi, Bodhisatta menggambarkan, ‘Di sini, di dunia ini, bahkan seorang musuh yang memiliki akal sehat akan lebih baik.’ Ia membacakan baris-baris berikut ini :
Teman yang bodoh lebih buruk dibandingkan
dengan musuh yang memiliki akal sehat.
Lihatlah gadis yang tangan sembrononya terkulai ke bawah;
Ibunya, orang yang ia ratapi dengan sia-sia.
Melalui baris-baris yang memuji mereka yang bijaksana, Bodhisatta membabarkan Dhamma.
____________________
“Ini bukan pertama kalinya, Perumah-tangga,” kata Sang Guru, “keinginan Rohinī untuk membunuh lalat membuatnya membunuh ibunya sendiri.” Setelah meyampaikan uraian ini, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ibu dan anak di kelahiran ini juga merupakan ibu dan anak di kelahiran yang lalu, dan Saya sendiri adalah saudagar tersebut.”

Rabu, 19 Juni 2013

KHADIRAṄGĀRA-JĀTAKA

“Lebih baik saya langsung terjun,” dan seterusnya. 


Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anāthapiṇḍika.

Anāthapiṇḍika yang menghabiskan lima ratus empat puluh juta, dalam keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan membangun wihara yang dananya bersumber dari dia seorang diri, yang tidak menghargai hal lain selain Ti Ratana, setiap hari mengunjungi Sang Guru ketika Beliau sedang berada di Jetawana untuk memberikan pelayanan utama (besar), — satu kali di waktu fajar, satu kali setelah sarapan dan satu kali di sore hari; ada juga pelayanan kecil. Dan ia tidak pernah datang dengan tangan kosong, takut kalau-kalau para samanera dan anak-anak menantikan apa yang dibawanya. Ketika datang di waktu fajar , ia membawa bubur beras. Setelah sarapan ia membawa gi, mentega segar (nawanita), madu, sari tebu dan sejenisnya. Di sore hari ia membawa wewangian, untaian bunga dan pakaian. Begitu banyak yang ia habiskan hari demi hari, jumlah pengeluarannya tidak terhitung banyaknya. Selain itu, banyak pedagang yang meminjam uang darinya dengan membuat surat hutang, hingga jumlahnya sebesar seratus delapan puluh juta dan saudagar besar itu tidak pernah meminta kembali uang tersebut. Di luar itu, terdapat harta keluarganya sebesar seratus delapan puluh juta yang dikubur di tepi sungai, yang hanyut ke laut ketika dihantam oleh badai; kendi yang tidak beraturan (bentuknya) itu kemudian terguling ke bawah, dengan semua pengikat dan tutupnya dalam keadaan tidak terbuka, tepat ke dasar laut. Di rumahnya juga, selalu tersedia nasi untuk lima ratus orang bhikkhu, — sehingga rumah saudagar tersebut bagi para bhikkhu seperti sebuah kolam yang digali di perempatan jalan, yah, ia sudah seperti ibu dan ayah bagi para bhikkhu. Karena itu, bahkan Yang Tercerahkan Sempurna juga biasa mengunjungi rumahnya, demikian juga dengan delapan puluh maha thera, serta jumlah bhikkhu yang masuk keluar rumahnya sudah tak terhitung jumlahnya.
Rumah Anāthapiṇḍika terdiri dari tujuh tingkat dan memiliki tujuh pintu gerbang; di atas pintu gerbang keempat, tinggal seorang makhluk dewata yang berpandangan salah. Ketika Yang Tercerahkan Sempurna mengunjungi rumah tersebut, ia tidak bisa tinggal di kediamannya di tempat yang tinggi, namun harus turun ke lantai dasar bersama anakanaknya; demikian juga saat kedelapan puluh maha thera ataupun thera-thera lainnya mengunjungi rumah tersebut. Ia berpikir, “Selama Petapa Gotama dan para siswa-Nya mengunjungi tempat ini, saya tidak dapat hidup dengan tenang; Saya tidak bisa harus selalu turun ke lantai dasar. Saya harus membuat mereka berhenti mengunjungi tempat ini.” Maka suatu hari, saat pengelola usaha Anāthapiṇḍika sedang beristirahat, makhluk dewata ini menampakkan diri di hadapannya.
“Siapakah itu?” tanya lelaki tersebut.
“Saya,” jawabnya, “makhluk yang tinggal di gerbang keempat.” “Apa yang membuat Anda muncul di sini?” “Kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh saudagar tersebut. Ia tidak memikirkan masa depannya sendiri, ia terus menggunakan uangnya, untuk memperkaya Petapa Gotama. Ia tidak berda-gang, tidak menjalankan usahanya. Nasihatilah saudagar itu untuk mengurus usahanya dan atur agar Petapa Gotama dan para siswa-Nya tidak datang ke rumah ini lagi.”
Lelaki itu menjawab, “Makhluk yang bodoh, jika saudagar itu menghabiskan uangnya, ia melakukan itu atas keyakinannya terhadap ajaran Buddha, yang mengajarkan tentang pembebasan (nibbana). Bahkan jika ia menarik rambutku dan menjualku sebagai budak, saya tidak akan berkata apa-apa. Pergilah!”
Di hari yang lain, makhluk dewata tersebut menemui putra tertua saudagar itu dan memberinya nasihat yang sama. Ia mencemooh makhluk itu dengan cara yang sama. Namun, makhluk dewata itu tidak berani mengucapkan hal yang sama kepada saudagar itu sendiri.
Karena kemurahan hatinya  yang tanpa akhir dan karena ia tidak menjalankan usahanya, pendapatan saudagar itu berkurang, kekayaannya juga semakin berkurang dan berkurang; akhirnya ia turun derajat menjadi orang miskin; makanan, pakaian, tempat tinggal dan keadaannya tidak seperti apa yang mereka miliki di waktu jaya dulu. Walaupun keadaannya telah berubah, ia masih menjamu para bhikkhu, meskipun tidak mampu mengadakan perjamuan besar lagi. Suatu hari, setelah ia memberikan hormat dan mengambil tempat duduk, Sang Guru bertanya kepadanya, “Tuan (perumah tangga), apakah dana makanan masih dilakukan di rumahmu?” “Masih, Bhante,” jawabnya, “namun hanya sedikit bubur sekam yang agak asam, sisa semalam.” “Jangan bersedih, Tuan, dengan berpikir bahwa engkau hanya mampu menawarkan apa yang kurang enak. Jika hatimu tulus, makanan yang dipersembahkan kepada para Buddha, Pacceka Buddha, dan siswa-siswa-Nya pasti akan terasa enak. Mengapa demikian? — Karena besarnya buah perbuatan baik tersebut. Ia yang mampu membuat hatinya tulus memberi, tidak akan pernah memberikan persembahan dana yang tidak dapat diterima;— seperti yang dibuktikan oleh bait berikut ini : —
Jika hati penuh dengan keyakinan, tidak ada
persembahan yang tidak berarti kepada para Buddha
atau pengikut mereka yang sejati.
Dikatakan tidak ada jasa (pelayanan) yang terhitung kecil
yang diberikan kepada para Buddha, yang tercerahkan sempurna.
Baik sekali hasil yang diperoleh dari sedikit persembahan
makanan — kering, asam ataupun kurang garam.”
Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Tuan, walaupun memberikan persembahan yang tidak enak, tetapi engkau berikan itu kepada mereka yang telah berada di dalam Jalan Utama Beruas Delapan (para ariya puggala). Sedangkan Saya, ketika berada di masa Velāma, menggemparkan satu India dengan memberikan tujuh jenis benda persembahan, dan dalam persembahanku yang berlimpah itu seakan-akan saya membuat satu arus dalam lima sungai yang maha besar, — namun saya tidak dapat menemukan satu orang pun yang berlindung kepada Ti Ratana atau yang menjalankan lima latihan moralitas; karena orang-orang yang pantas menerima pemberian itu sangatlah langka untuk dapat ditemukan. Karena itu, jangan biarkan hatimu terganggu oleh pikiran bahwa persembahanmu tidak enak.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi Velāmaka Sutta.
Saat itu, makhluk dewata yang tidak berani berbicara pada saudagar tersebut di masa jayanya itu berpikir bahwa kini saudagar tersebut telah jatuh miskin dan mungkin ia mau mendengar perkataannya, maka ia masuk ke kamar saudagar tersebut di  tengah malam, menampakkan diri di hadapannya, dengan berdiri melayang di udara. “Siapakah itu?” tanya saudagar tersebut saat menyadari kehadirannya. “Saya adalah makhluk dewata, Saudagar yang baik, yang tinggal di gerbang keempat rumahmu.” “Apa yang membuatmu muncul di sini?” “Untuk menasihatimu.” “Lanjutkan, kalau demikian.” “Saudagar yang baik, kamu tidak memikirkan masa depanmu maupun masa depan anak-anakmu. Kamu menghabiskan kekayaanmu dalam jumlah besar untuk ajaran Petapa Gotama; Kenyataannya, pengeluaran yang terus menerus dalam jangka panjang  dan tidak mengadakan usaha yang baru, membuatmu dibawa ke jurang kemiskinan oleh Petapa Gotama. Walaupun demikian, kemiskinan tidak membuatmu melepaskan keyakinan terhadap Petapa Gotama! Para petapa masuk keluar rumahmu saat ini sama seperti sebelumnya. Apa yang mereka dapatkan darimu tidak akan pernah kembali lagi. Hal ini harus mendapat perhatian khusus. Mulai sekarang janganlah mengunjungi Petapa Gotama dan jangan biarkan para siswa-Nya menginjakkan kakinya ke rumahmu lagi. Jangan pernah berpaling untuk melihat Petapa Gotama lagi; uruslah usaha dagang dan jual belimu untuk mendapatkan kembali kekayaan keluargamu.”
Saudagar itu bertanya kepada sang dewata, “Apakah ini nasihat yang ingin engkau sampaikan kepadaku?”
“Benar.”
Saudagar itu berkata, “Sang Dasabala yang sangat hebat telah membuat saya mampu menahan seratus, seribu, yah, menahan seratus ribu makhluk dewata sepertimu! Keyakinan saya sekuat dan sekokoh Gunung Sineru! Pada dasarnya, saya mencurahkan diri pada keyakinan yang akan membawa saya pada nibbana. Kata-katamu sangat jahat; engkau memberikan sebuah pukulan pada ajaran Sang Buddha, engkau makhluk yang jahat dan lancang. Saya tidak percaya bahwa saya tinggal di bawah satu atap yang sama denganmu. Pergilah engkau dari rumahku sekarang juga dan cari perlindungan di tempat lain!”

Mendengar perkataan orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna dan seorang siswa ariya Sang Buddha, ia tidak bertahan di sana lagi, melainkan kembali ke tempat tinggalnya dan membawa anak-anaknya pergi dari rumah tersebut. Pada saat meninggalkan tempat itu, ia memutuskan bahwa ia tidak dapat tinggal di rumah yang lain, ia akan menenangkan saudagar tersebut dan kembali tinggal di rumahnya lagi. Dengan pikiran tersebut, ia pergi ke tempat perwakilan para makhluk dewata di kota itu, memberikan hormat dan berdiri di hadapan para perwakilan itu.

Ketika ditanya mengapa ia datang, ia berkata, “Tuanku, saya telah mengucapkan kata-kata yang dinilai lancang oleh Anāthapiṇḍika, ia marah dan mengusir saya dari rumahnya. Bawalah saya ke sana dan damaikanlah kami, sehingga ia akan mengizinkan saya tinggal di rumahnya lagi.”

“Apa yang kamu katakan pada saudagar itu?”

“Saya katakan padanya agar jangan memberikan dukungan kepada Buddha dan Sanggha di masa mendatang, dan jangan biarkan Petapa Gotama menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Inilah perkataan saya padanya, Tuanku.”

“Katakatamu sangat jahat, memberikan sebuah pukulan pada keyakinan tersebut. Saya tidak dapat membawamu ke rumah saudagar tersebut.”

Tidak mendapatkan dukungan dari perwakilan tersebut, ia meminta bantuan dari Empat Raja Dewa. Dan menerima penolakan yang sama dari mereka, dewata itu kemudian menemui Sakka, raja para dewa, dan menceritakan kejadian itu kepadanya serta memohon padanya dengan penuh kesungguhan, seperti berikut ini, “Dewa, tanpa tempat tinggal, saya berkeluyuran seperti tunawisma dengan membawa anakanak saya. Dengan kekuasaanmu, berikanlah tempat tinggal bagi saya.”
Sakka juga berkata padanya, “Engkau telah melakukan hal yang jahat; memberikan pukulan pada sebuah keyakinan yang tidak tergoyahkan. Saya tidak dapat berbicara pada saudagar itu untuk kepentinganmu. Namun saya dapat memberikan satu jalan yang dapat membuat saudagar itu memaafkanmu.”

“Tolong tunjukkan padaku, Dewa.”

“Ada orang yang mempunyai hutang sebesar seratus delapan puluh juta padanya. Menyamarlah menjadi wakilnya, dan tanpa memberitahu siapa pun, pergilah ke rumah mereka dengan membawa surat hutang mereka, dengan didampingi beberapa yaksa muda. Berdirilah di tengah-tengah rumah mereka dengan surat hutang di satu tangan dan bukti pembayaran di tangan yang lain, takutilah mereka dengan kekuatan yaksa yang engkau bawa, katakan, ‘Ini adalah tanda terima hutangmu. Saudagar kami tidak mempermasalahkan hal ini ketika ia masih kaya, namun sekarang ia telah jatuh miskin, kalian harus membayar hutang kalian. Dengan kekuatan yaksa tersebut, tagih seluruh seratus delapan puluh juta itu dan isikan ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang telah kosong. Ia memiliki harta lain yang terkubur di tepi Sungai Aciravatī, namun saat pinggiran sungai itu disapu oleh badai, harta itu ikut hanyut ke dalam laut. Dapatkan kembali harta itu dengan kekuatan gaib yang kamu miliki, dan simpanlah mereka ke dalam kotak hartanya. Lebih lanjut, ada uang sebesar seratus delapan puluh juta yang tidak ada pemiliknya di tempat anu, bawakan juga uang-uang itu dan isi ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang kosong. Setelah engkau menebus kesalahanmu dengan memperoleh kembali lima ratus empat puluh juta ini, minta agar saudagar tersebut memaafkanmu.”

“Baik, Dewa,” jawabnya.

Ia melakukan semua pekerjaan itu dengan patuh, sesuai dengan petunjuk yang diberikan kepadanya. Setelah memperoleh kembali semua uang itu, ia pergi ke kamar saudagar itu jauh di tengah malam, dan muncul di hadapannya dengan berdiri di udara.
Saudagar itu menanyakan siapakah yang berdiri di sana, dan ia menjawab, “Saya, Saudagar yang baik, makhluk dewata yang buta dan bodoh, yang tinggal di atas gerbang keempat rumahmu. Dalam kebodohan yang membabi buta, saya tidak mengetahui tentang kebajikan dari seorang Buddha, sehingga saya mengucapkan kata-kata seperti itu di masa lalu. Maafkanlah kesalahan saya! Berdasarkan petunjuk dari Sakka, raja para dewa, saya telah menebus kesalahan saya dengan mengumpulkan kembali seratus delapan puluh juta dari piutangmu, seratus delapan puluh juta dari hartamu yang telah hanyut ke dalam laut dan seratus delapan puluh juta harta tanpa pemilik yang terkubur di tempat anu, — mengumpulkan lima ratus empat puluh juta secara keseluruhan, yang telah saya isikan ke dalam tempat penyimpanan hartamu. Jumlah yang kamu habiskan untuk wihara di Jetawana telah terkumpul kembali. Sementara saya tidak mempunyai tempat tinggal, saya sangat menderita. Jangan ingat lagi pada apa yang telah saya lakukan dalam kebodohan saya, Saudagar yang baik, maafkanlah saya.”
Mendengar ucapannya, Anāthapiṇḍika berpikir, “Ia adalah seorang makhluk dewata, mengatakan ia telah menebus kesalahannya, dan mengakui kesalahannya. Sang Guru seharusnya memikirkan hal ini dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dewa ini. Saya akan membawanya menghadap Yang Tercerahkan Sempurna.”

Maka Anāthapiṇḍika berkata, “Dewa yang baik, jika kamu mau saya memaafkanmu, tanyakanlah hal ini dihadapan Sang Guru.”

“Baik,” jawabnya, “akan saya lakukan. Bawalah saya bersamamu untuk menghadap Sang Guru.”

“Tentu,” jawabnya.

Pagi-pagi sekali, saat malam baru saja berlalu, ia membawa dewa itu bersamanya untuk menghadap Sang Guru, dan menyampaikan semua perbuatan makhluk dewata itu kepada Sang Bhagawan.
Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, “Engkau lihat, Tuan perumah-tangga, bagaimana orang yang penuh kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang baik sebelum ia menerima akibat perbuatannya. Setelah akibat perbuatannya berbuah, ia akan melihat kejahatan sebagai kejahatan adanya. Sama halnya dengan orang baik yang melihat kebaikannya sebagai kejahatan sebelum hasil perbuatannya berbuah. Saat perbuatan baiknya telah masak, ia akan melihatnya sebagai kebaikan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair Dhammapada berikut ini :
Orang bodoh berpikir kejahatannya sebagai hal yang
baik selama akibat perbuatannya belum berbuah.
Saat buah kejahatannya telah masak,
orang bodoh pasti akan melihat ‘apa yang aku perbuat’
adalah jahat.

Orang baik berpikir kebaikannya sebagai suatu
kejahatan selama perbuatannya belum berbuah.
Saat buah kebaikannya telah masak,
orang baik akan melihat ‘apa yang aku perbuat’
adalah baik.
Saat syair ini selesai disampaikan, makhluk dewata itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Ia bersujud di kaki Sang Guru yang mempunyai lambang roda, berseru, “Saya dinodai oleh nafsu keinginan, dirusak oleh kejahatan, disesatkan oleh khayalan dan dibutakan oleh ketidaktahuan. Saya mengucapkan hal-hal yang jahat karena tidak mengetahui tentang kebaikan-Mu. Maafkanlah saya.” Permohonan maafnya diterima oleh Sang Guru dan saudagar tersebut.
Saat itu, Anāthapiṇḍika sendiri yang mengucapkan pujian kepada Sang Guru dengan berkata, “Bhante, walaupun makhluk ini telah berusaha untuk menghentikan dukungan saya terhadap Buddha dan para siswa-Nya, tetapi ia tidak berhasil; meskipun ia mencoba menghentikan persembahan dana saya, saya tetap melakukannya! Bukankah ini merupakan salah satu kebaikan-Mu?”
Sang Guru berkata, “Engkau, perumah-tangga, adalah seorang yang telah mencapai Sotāpanna dan merupakan siswa terpilih, keyakinanmu kokoh dan pandanganmu suci. Tidak heran kalau kamu tidak bisa dihentikan oleh makhluk yang tidak bertenaga ini. Adalah suatu keajaiban saat ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau, sebelum seorang Buddha muncul setelah mencapai Penerangan Sempurna, memberikan persembahan dari jantung bunga teratai, walaupun Mara, raja dari alam setan penggoda, muncul di tengah langit, berseru, ‘Jika kamu memberikan persembahan itu, kamu akan dipanggang dalam neraka ini.’ — bersamaan itu, ia menunjukkan pada mereka sebuah lubang sedalam delapan puluh kubik, yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan Anāthapiṇḍika Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga saudagar besar di Benares, ia dibesarkan dalam kemewahan seperti seorang putra mahkota. Saat mencapai kedewasaan di usia enam belas tahun, ia sempurna dalam semua keahlian. Setelah ayahnya meninggal, ia mengisi posisi saudagar besar dan membangun enam balai distribusi dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di pusat kota dan satu lagi di depan gerbang rumahnya yang megah. Ia hidup dengan harta yang berlimpah , ia juga menjaga sila dan menjalankan uposatha.
Suatu hari, saat sarapan, ketika berbagai makanan pilihan dengan rasa dan jenis yang sangat beraneka ragam dihidangkan untuk Bodhisatta, seorang Pacceka Buddha terbangun setelah tujuh hari berada dalam arus jhana, melihat saat itu adalah waktu baginya untuk melakukan pindapata, ia berpikir baik baginya untuk mengunjungi saudagar besar dari Benares di pagi itu. Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta, mengenakan jubah dalamnya saat berdiri di tanah merah, mengencangkan sabuk, mengenakan jubah luarnya; dan dilengkapi dengan sebuah patta sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pindapata, ia pergi melalui udara dan tiba di gerbang rumah tersebut bersamaan dengan saat sarapan untuk Bodhisatta dihidangkan.
Begitu Bodhisatta melihat keberadaannya, ia segera bangkit dan menatap pengawalnya, menandakan sebuah pelayanan dibutuhkan. “Apa yang harus saya lakukan, Tuanku?” “Bawakan patta dari bhikkhu yang agung itu,” kata Bodhisatta.
Saat itu juga, Māra yang jahat, bangkit sambil berseru dengan penuh kehebohan, berkata kepada dirinya, “Ini adalah hari ketujuh sejak Pacceka Buddha ini makan makanan terakhir yang didanakan padanya; jika ia tidak mendapatkan apa-apa hari ini, ia akan mati. Saya akan membinasakannya dan mencegah saudagar itu memberikan persembahannya.” Saat itu juga ia pergi dan muncul di rumah tersebut dengan sebuah lubang yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara, sedalam delapan puluh kubik, yang diisi dengan Bara Acacia, yang semuanya menyala dan terbakar laksana Neraka Avici. Setelah menciptakan lubang itu, Māra sendiri berdiri di tengah-tengah udara.
Ketika pengawal yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu menyadari kehadirannya, ia terkejut dan melangkah mundur. “Apa yang membuatmu kembali lagi, Pelayanku?” tanya Bodhisatta. “Tuanku,” jawab pelayan itu, “ada sebuah lubang besar dengan bara merah membara, yang sedang menyala dan terbakar di tengah-tengah rumah.” Satu demi satu pelayan pergi ke tempat itu, namun semuanya dipenuhi rasa panik, dan melarikan diri secepat mungkin.
Bodhisatta berpikir, “Māra si setan penggoda, pasti memaksakan dirinya menghentikan pemberian dana saya hari ini. Saya telah belajar bagaimanapun juga, saya dapat melepaskan diri dari seratus, bahkan seribu Māra. Hari ini kita akan melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih berkuasa, saya atau Māra.” Ia sendiri yang membawa mangkuk itu keluar dari rumah, dan berdiri di tepi lubang yang berapi tersebut, melihat ke langit.

Saat itu ia melihat Māra, ia bertanya, “Siapa kamu?”

“Saya adalah Māra,” jawabnya.
“Apakah kamu yang memunculkan lubang dari bara api yang merah membara ini?”

“Benar, saya yang melakukannya.”

“Mengapa?”

“Untuk menghentikan kamu memberikan persembahan dana dan untuk membinasakan Pacceka Buddha itu.”

“Saya tidak akan mengizinkan engkau menghentikan saya memberikan persembahan ini maupun membiarkanmu membinasakan Pacceka Buddha. Hari ini saya ingin melihat apakah engkau atau saya yang lebih kuat.”

Masih berdiri di tepi lubang yang menyala itu, ia berseru, “Pacceka Buddha yang agung, biarpun tindakan ini akan membuat saya langsung jatuh ke dalam lubang dari bara api yang merah membara ini, saya tidak akan mundur. Mohon kesediaan Bhante untuk menerima makanan yang saya bawakan ini.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair berikut ini : —
Lebih baik saya langsung terjun ke lubang
sedalam jurang pemisah dari neraka, daripada
melakukan hal yang demikian memalukan!
Mohon Bhante bersedia, menerima uluran tangan
yang membawakan persembahan ini!
Dengan kata-kata ini, Bodhisatta memegang mangkuk yang berisikan makanan, melangkah maju dengan berani dan penuh ketetapan hati tepat ke permukaan lubang berapi itu. Namun saat ia melakukan hal tersebut, dari lubang sedalam delapan puluh kubik itu muncul bunga teratai yang besar dan tiada bandingannya, menyangga kaki Bodhisatta! Dari sana, timbul sejumlah serbuk yang jatuh ke kepala makhluk yang agung tersebut, hingga seluruh tubuhnya ditaburi oleh serbuk emas mulai dari kepala hingga ke ujung jari kakinya! Berdiri tepat di jantung teratai itu, ia melimpahkan semua makanan pilihan itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha tersebut.
Setelah Pacceka Buddha menerima persembahan makanan itu dan menyampaikan terima kasihnya pada Bodhisatta, ia melemparkan mangkuknya ke langit, dan tepat dibawah tatapan semua orang, ia melayang ke udara, dan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pegunungan Himalaya, ia terlihat menelusuri jalanan yang dibentuk oleh awan-awan yang tercipta secara ajaib.
Dan Māra, yang telah kalah dan dipenuhi oleh kekesalan, kembali ke kediamannya.
Bodhisatta yang masih berdiri di jantung bunga teratai, membabarkan Dhamma kepada semua orang, memuji tentang praktik pemberian dana dan sila; setelah itu, ia berputar kembali dengan dikawal oleh sejumlah orang, masuk ke dalam rumahnya. Sepanjang hidupnya diisi dengan berdana dan kebaikan lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan terlahir kembali ke alam bahagia, sesuai dengan perbuatannya.
___________________
Sang Guru berkata, “Tidak perlu heran, Tuan perumah tangga, bahwa engkau, dengan pengetahuan Dhamma-mu, tidak bisa dikuasai oleh makhluk dewata itu. Kekuatan yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan oleh ia yang bijaksana dan penuh dengan kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pacceka Buddha di masa itu telah meninggal dunia dan tidak pernah dilahirkan kembali lagi. Saya sendiri adalah saudagar besar dari Benares, yang mengalahkan Māra, dengan berdiri di jantung bunga teratai, mempersembahkan dana makanan ke dalam patta Pacceka Buddha tersebut.”

YĀCITABHATTA-JĀTAKA

YĀCITABHATTA-JĀTAKA

 “Pikirkan tentang kehidupan setelah ini,” dan seterusnya. 


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai persembahan korban karena sumpah yang diucapkan kepada para dewa. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, dewasa ini, penduduk yang akan melakukan perjalanan untuk berdagang, biasanya membunuh makhluk hidup dan mempersembahkan mereka sebagai korban kepada para dewa, dan memulai perjalanannya setelah mengucapkan sumpah seperti ini — “Jika kami kembali dengan selamat dan membawa keuntungan, kami akan membunuh korban yang lain untukmu.” Saat mereka kembali dari perjalanan itu dan membawa keuntungan, pikiran bahwa ini adalah karena bantuan para dewa, membuat mereka membunuh lebih banyak makhluk hidup dan mempersembahkan korban-korban itu agar bebas dari sumpah yang telah mereka ucapkan.

Saat para bhikkhu mengetahui hal ini, mereka bertanya pada Sang Bhagawan, “Apakah ada kebaikan dengan melakukan hal ini, Bhante?”
Sang Bhagawan pun kemudian menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________


Sekali waktu di Negeri Kāsi, seorang penjaga sebuah desa kecil membuat janji untuk memberikan korban kepada dewa pohon dari sebuah pohon beringin yang tumbuh di dekat pintu gerbang desa. Sesudahnya, saat kembali, ia membunuh sejumlah makhluk hidup dan pergi ke bawah pohon agar ia terlepas dari sumpah yang telah diucapkannya. Namun sang dewa pohon, dengan berdiri di cabang pohon tersebut, mengulangi syair berikut ini:
Pikirkan tentang kehidupan setelah ini saat engkau mencari ‘pembebasan’;
Pembebasan yang sekarang ini (engkau lakukan) adalah merupakan suatu ikatan.
Tidak dengan cara demikian, ia yang bijaksana dan penuh kebaikan membebaskan diri mereka sendiri; Bagi mereka yang bodoh, kebebasan mereka berakhir dalam ikatan.
Setelah itu, para manusia menahan diri dalam melakukan pembunuhan, dan dengan berjalan di jalan yang benar, mereka kemudian terlahir kembali di alam dewa.
____________________
Saat uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kedua kisah itu, dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Saya adalah dewa pohon di masa itu.”

INTI CERITA : 
Menawarkan pengorbanan untuk mendapatkan pembebasan dari sebuah janji adalah bukan ‘pembebasan’ yang sesungguhnya.

Selasa, 18 Juni 2013

SERIVĀṆIJA-JĀTAKA.

“Dalam keyakinan ini,” dan seterusnya...

Kisah ini diceritakan oleh Bhagawan ketika Beliau berada di Sawatthi, juga mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Maka, pada saat dibawa oleh para bhikkhu seperti halnya dalam kisah sebelumnya, Sang Guru berkata, “Engkau, bhikkhu yang telah bertekad untuk melaksanakan ajaran yang begitu mulia, yang memungkinkan pencapaian kesucian,  hendak menyerah berdaya upaya dalam pelatihan, hal ini akan membuahkan penderitaan panjang seperti seorang pedagang di Seri yang kehilangan sebuah mangkuk emas bernilai seratus ribu keping uang.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan maksud perkataan Beliau kepada mereka. Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika pada masa lima asankheyya kappa yang lampau di Kerajaan Seri, Bodhisatta berdagang belanga dan tembikar, ia dikenal dengan sebutan ‘Serivan’. Bersama seorang pedagang keliling lainnya yang tamak, dengan barang dagangan yang sama, juga dikenal dengan sebutan ‘Serivan’, melintasi Sungai Telavāha dan memasuki Kota Andhapura. Mereka membagi daerah dagang dengan kesepakatan bersama dan masing-masing mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Di kota itu terdapat sebuah keluarga yang sangat miskin. Awalnya mereka adalah keluarga saudagar yang kaya, namun saat kisah ini terjadi, mereka telah kehilangan semua anak lakilaki dan saudara laki-laki beserta semua harta kekayaan mereka. Yang tersisa dalam keluarga itu hanyalah seorang anak gadis bersama neneknya, mereka bertahan hidup dengan menerima pekerjaan upahan. Tanpa menyadari bahwa mereka masih mempunyai sebuah mangkuk emas yang dulunya dipakai oleh saudagar kaya, kepala keluarga itu untuk menyantap makanan. Akan tetapi karena sudah lama tidak dipergunakan, mangkuk emas itu tersaput kotor dengan debu dan ditempatkan di antara tumpukan belanga dan tembikar. Saat itu, pedagang keliling yang tamak sedang berada di depan rumah mereka menjajakan barang dagangannya. Ia berteriak, “Kendi untuk dijual! Kendi untuk dijual!” Ketika gadis muda itu melihat ada seorang pedagang keliling di depan pintu rumah mereka, ia berkata kepada neneknya, “Ayolah, Nek, belikan saya sebuah perhiasan.”
“Kita sangat miskin, Sayang; apa yang dapat kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan?”
“Masih ada sebuah mangkuk yang tidak pernah kita gunakan, mari kita tukarkan dengan perhiasan untukku.”
Wanita tua itu mempersilakan pedagang keliling tersebut masuk dan duduk, kemudian memberikan mangkuk itu kepadanya dan berkata, “Ambillah ini, Tuan. Berbaik hatilah dengan menukarkan sesuatu untuk saudarimu ini.”
Pedagang tamak itu mengambil mangkuk tersebut dan membalikkannya. Ia memperkirakan mangkuk itu terbuat dari emas, dengan menggunakan sebatang jarum ia menggores bagian belakang mangkuk dan yakin itu adalah sebuah mangkuk emas. Sambil memikirkan cara mendapatkan mangkuk tersebut tanpa memberikan apapun kepada wanita tua itu, ia berteriak, “Memangnya berapa harga mangkuk ini? Bahkan tidak bernilai seperdelapan sen!”  Seraya bangkit dari tempat duduknya, ia melemparkan mangkuk itu ke lantai dan pergi dari rumah itu.

Sesuai kesepakatan mereka, setelah seorang pedagang selesai menjajakan dagangannya di suatu tempat, pedagang yang lain boleh mencoba peruntungannya di tempat yang telah ditinggalkan temannya; maka Bodhisatta datang ke jalan yang sama, berhenti di depan rumah tersebut dan berteriak, “Kendi untuk dijual!” Sekali lagi gadis muda itu mengulangi permintaannya. Wanita tua itu menjawab, “Sayangku, pedagang keliling sebelumnya telah melemparkan mangkuk ini ke lantai dan meninggalkan rumah kita. Barang apa lagi yang bisa kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan untukmu?”
“Pedagang tadi seorang yang kasar dalam berkata-kata, Nek. Sementara yang ini terlihat baik dan berbicara dengan ramah. Sepertinya ia akan menerima tawaran kita.” “Kalau begitu, panggillah ia kemari.” Maka pedagang itu pun masuk ke dalam rumah, setelah dipersilakan duduk, mereka menyerahkan mangkuk itu kepadanya. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, ia berkata, “Ibu, mangkuk ini bernilai seratus ribu keping uang. Saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.”
“Tuan, pedagang yang kemari sebelum kedatanganmu mengatakan bahwa nilai mangkuk ini tidak melebihi seperdelapan sen. Ia melemparkan mangkuk ke lantai dan pergi dari rumah ini. Kemuliaan hatimu telah mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah mangkuk ini, berikan sesuatu barang atau yang lainnya kepada kami, dan lanjutkan perjalananmu.”

Saat itu Bodhisatta memiliki lima ratus keping uang dan barang dagangan dengan nilai yang lebih besar. Ia memberikan semuanya kepada mereka dan berkata, “Saya akan menyisakan timbangan, tas dan delapan keping uang untuk saya simpan.” Atas persetujuan mereka, ia menyimpannya, kemudian dengan cepat berlalu ke pinggir sungai, memberikan delapan keping uang tersebut kepada tukang perahu dan naik ke perahu.

Tidak lama kemudian, pedagang yang tamak itu kembali ke rumah tersebut, meminta mereka mengeluarkan mangkuk itu untuk ditukar dengan sesuatu barang atau yang lain. Wanita tua itu menemuinya dan berkata, “Engkau mengatakan mangkuk emas kami yang bernilai seratus ribu keping uang itu tidak bernilai bahkan seperdelapan sen. Namun datang seorang pedagang jujur (saya duga tuanmu) yang memberikan kami seribu keping uang, kemudian membawa mangkuk itu bersamanya.”
Mendengar hal tersebut ia berteriak, “Ia telah merampok sebuah mangkuk emas yang bernilai seratus ribu keping uang dariku; ia telah menyebabkan aku menderita kerugian besar.” Kesedihan yang teramat sangat menderanya, ia kehilangan kendali dan terlihat seperti orang yang terganggu pikirannya.  Uang dan barang dagangan dicampakkannya di depan pintu rumah itu; ia melepaskan pakaiannya; dengan membawa lengan timbangan sebagai alat pemukul, ia menyusul Bodhisatta sampai ke pinggir sungai. Melihat perahu telah berlayar, ia menjerit agar tukang perahu kembali ke pinggir sungai, namun Bodhisatta meminta tukang perahu untuk melanjutkan pelayaran tersebut. Ia berdiri di pinggir sungai, hanya bisa memandang Bodhisatta yang semakin jauh darinya, penderitaan yang amat sangat melandanya. Hatinya diliputi oleh kemarahan; darah mencurat dari bibirnya; jantungnya retak seperti lumpur di dasar permukaan tangki yang kering oleh sinar matahari. Karena memikul kebencian terhadap Bodhisatta, ia meregang nyawa di tempat itu pada saat itu juga. (Inilah saat pertama Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta). Bodhisatta yang menjalankan hidup dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Jika dalam keyakinan ini, engkau lengah dan gagal untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diajarkan, — maka, seperti ‘Serivan’ si penjaja keliling,
sepanjang masa meratap sesal imbalan yang hilang akibat kedunguannya.
Setelah menguraikan Dhamma dengan cara yang dapat membimbing mereka pada pencapaian tingkat kesucian Arahat, Sang Guru memaparkan Empat Kebenaran Mulia secara terperinci. Di akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan menuturkan kesimpulan, “Saat itu, Devadatta adalah penjaja keliling yang tamak, dan Saya sendiri adalah penjaja keliling yang bijaksana dan baik itu.”

Minggu, 16 Juni 2013



TELOVĀDA-JĀTAKA

“Si keji membunuh,” dan seterusnya.—

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Kūṭāgārasālā  di dekat Vesāli, tentang Panglima Sīha.
Dikatakan bahwasanya setelah menyatakan perlindungannya, panglima ini menunjukkan keramahtamahan dan mempersembahkan makanan dengan daging (kepada Buddha). Para petapa telanjang yang mendengar berita ini menjadi marah dan tidak senang. Mereka ingin melakukan keburukan terhadap Sang Buddha. “Petapa Gotama,” cemooh mereka, “dengan kedua matanya terbuka lebar, memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Nya.”
Para bhikkhu membicarakan masalah ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Nigaṇṭha Nātaputta mencemooh di sana sini, dengan mengatakan, ‘Petapa Gotama, dengan kedua matanya terbuka lebar, memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Nya.’ ” Mendengar ini, Sang Guru membalas, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Nātaputta mencemooh diri-Ku dengan mengatakan Aku memakan daging yang secara sengaja disiapkan khusus untuk diri-Ku, sebelumnya dia juga melakukan hal yang sama.”
Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa, dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa.
Dia kemudian turung gunung dari Himalaya untuk memperoleh garam dan cuka, dan pada keesokan harinya berjalan masuk ke dalam kota untuk berkeliling mendapatkan derma makanan.
Seorang hartawan berkeinginan untuk mengganggu petapa tersebut. Dia membawa sang petapa ke kediamannya, memberikan tempat duduk kepadanya, dan mempersembahkan daging ikan kepadanya. Setelah selesai bersantap, hartawan itu duduk di satu sisi dan berkata, “Makanan ini secara sengaja disiapkan khusus untukmu, dengan membunuh makhluk hidup. Kesalahan tidak ada pada diriku, melainkan ada pada dirimu!”
Dan dia mengulangi bait pertama berikut:—
Si keji membunuh, memasak,
dan memberikannya untuk dimakan:
Dia yang menerima daging (makanan) demikian ini
adalah orang yang terkotori oleh perbuatan buruk.
Mendengar ini, Bodhisatta mengucapkan bait kedua berikut:
Si keji mungkin saja membunuh
istri atau anaknya untuk
diberikan sebagai (derma) makanan,
akan tetapi jika si suci yang memakannya,
maka tidak akan ada perbuatan buruk pada dirinya.
Setelah mengucapkan perkataan itu, Bodhisatta bangkit dari duduknya dan pergi.
____________________
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Nātaputta adalah hartawan, dan Aku sendiri adalah petapa tersebut.”

KACCHAPA-JĀTAKA

“Di sini saya dilahirkan,” dan seterusnya. 


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang bagaimana seseorang sembuh dari suatu wabah penyakit

Diceritakan bahwasanya suatu ketika suatu wabah penyakit tiba-tiba menjangkiti sebuah keluarga di Sāvatthi. Orang tua di dalam keluarga tersebut berkata kepada putra mereka, “Jangan tinggal di rumah ini, Anakku, buatlah lubang di dinding dan larilah ke tempat yang lain, dan selamatkan nyawamu. Setelah beberapa lama barulah kembali—harta karun akan ditimbun di sini, gali dan pulihkanlah kembali kemakmuran keluarga, dan semoga kehidupanmu bahagia!” Anak muda itu melakukan seperti apa yang diberitahukan kepadanya, dia menghancurkan dinding dan melarikan diri. Ketika wabahnya telah reda, dia pun pulang kembali dan menggali harta karun itu, yang digunakannya untuk membangun kehidupan keluarganya.

Pada suatu hari, dengan membawa banyak mentega, wijen, kain dan pakaian, serta persembahan lainnya, dia berkunjung ke Jetavana dan memberi salam hormat kepada Sang Guru, kemudian mengambil tempat duduknya. Sang Guru memulai percakapan dengannya. “Kami mendengar,” kata Beliau, “bahwa rumahmu terjangkit wabah penyakit. Bagaimana caranya Anda menyelamatkan diri?” Dia memberitahukan semuanya kepada Sang Guru.
Beliau berkata, “Di masa lampau, seperti sekarang ini, Upasaka, ketika bahaya muncul, ada orang yang terlalu melekat pada rumahnya untuk ditinggalkan dan mereka binasa di sana; sedangkan orang yang tidak melekat dan pergi ke tempat yang lain, nyawa mereka terselamatkan.”
Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di sebuah desa sebagai putra dari seorang kundi. Dia menjalankan usaha dagang tembikar, menghidupi istri dan keluarganya.
Kala itu terdapat sebuah danau alami yang besar dekat dengan sungai besar di Benares. Ketika airnya banyak, sungai dan danau menjadi satu, tetapi ketika airnya sedikit,  mereka menjadi terpisah. Ikan-ikan dan kura-kura tahu dari naluri mereka kapan terjadinya musim hujan dan kapan terjadinya musim kemarau.
Pada suatu ketika, ikan-ikan dan kura-kura yang tinggal di danau tersebut mengetahui bahwa akan terjadi kekeringan. Maka ketika dua aliran air tersebut menyatu, mereka pun berenang keluar dari danau menuju ke sungai. Akan tetapi ada seekor kura-kura yang tidak mau pindah ke sungai, karena katanya, “Di sini saya lahir, di sini saya tumbuh dewasa, dan di sini adalah rumah orang tuaku. Saya tidak bisa meninggalkannya!”
Di saat musim kemarau datang, semua air (di danau) menjadi kering. Dia menggali sebuah lubang dan mengubur dirinya sendiri di dalam, persis di tempat Bodhisatta sering datang untuk mengambil tanah liat. Kemudian Bodhisatta datang ke sana untuk mengambil tanah liat, dengan sekop yang besar dia mengali ke bawah, sampai dia memecahkan cangkang kura-kura, mengeluarkannya dari dalam tanah seakan-akan dia adalah sebongkah tanah liat yang besar.
Dalam kesakitannya makhluk itu berpikir, “Disini saya sedang sekarat, semuanya karena saya terlalu melekat kepada tempat tinggalku sehingga tidak bisa kutinggalkan!” Dan di dalam kata-kata dalam bait ini, dia merintih:
Di sini saya dilahirkan, dan di sinilah saya tinggal;
tempat berlindungku adalah tanah liat.
Dan sekarang tanah liat ini memperdayaku
dengan cara yang paling kejam;
Anda, Anda saya panggil, Oh Bhaggava;
dengarlah apa yang akan saya katakan!

Pergilah ke mana Anda dapat menemukan kebahagiaan,
ke mana pun tempat itu berada;
Hutan atau desa, di sana mereka yang bijak
melihat rumah dan tempat lahir mereka;
Pergilah ke mana kehidupan itu ada;
jangan tinggal di rumah untuk menanti kematian menguasaimu.
Kemudian dia terus-menerus berbicara kepada Bodhisatta, hingga dia meninggal. Bodhisatta membawanya dan mengumpulkan semua penduduk desa dan kemudian berkata, “Lihatlah kura-kura ini. Ketika ikan-ikan dan kura-kura yang lain pergi ke sungai yang besar, dia terlalu mencintai rumahnya untuk pergi bersama mereka, menguburkan dirinya sendiri di tempat saya mengambil tanah liat. Kemudian ketika saya sedang menggali tanah liat, cangkangnya rusak oleh sekop besar saya, dan saya mengeluarkannya ke atas tanah dengan anggapan bahwa dia adalah sebuah bongkahan tanah liat yang besar. Kemudian dia mengingatkan tentang apa yang telah dia lakukan, meratapi dirinya dalam dua bait kalimat dan mati. Maka kalian melihat dia menemui ajalnya karena terlalu melekat kepada rumahnya. Jagalah diri kalian agar tidak seperti kura-kura ini. Janganlah berkata pada diri sendiri, ‘Saya memiliki penglihatan, saya memiliki penciuman, saya memiliki pengecap, saya memiliki sentuhan, saya memiliki seorang putra, saya memiliki seorang putri, saya memiliki sekumpulan anak buah dan pembantu yang melayani saya, saya memiliki emas berharga’, janganlah terikat kepada semua ini dengan nafsu keinginan. Setiap makhluk melewati tiga alam keberadaan  .”
Demikian dia menasihati orang banyak tersebut dengan gaya seorang Buddha. Wejangan ini tersebar di seluruh Jambudīpa (India), dan selama tujuh ribu tahun, wejangan ini tetap diingat. Semua penduduk desa menjalankan nasihatnya, memberi derma dan melakukan kebajikan lainnya hingga akhirnya masuk ke alam surga.
____________________
Setelah mengakhirinya, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir dari kebenaran, anak muda tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Ānanda adalah kura-kura tersebut, dan tukang kundi adalah diri-Ku sendiri.”

Kamis, 13 Juni 2013

MAHILAMUKHA-JATAKA

“Awalnya, dengan mendengar,” dan seterusnya. 




Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagawan ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta, yang mendapatkan kesetiaan Pangeran Ajātasattu, ia memperoleh keuntungan serta kehormatan darinya. Pangeran Ajātasattu membangun sebuah wihara untuk Devadatta di Gayāsīsa, dan setiap hari mempersembahkan  lima ratus mangkuk nasi wangi yang berusia tiga tahun, yang telah dibumbui dengan semua bumbu pilihan. Semua keuntungan dan kehormatan ini membawakan sejumlah pengikut untuk Devadatta, yang tinggal bersamanya, tanpa pernah keluar dari wihara.


Saat itu di Rājagaha, hiduplah dua orang sahabat. Satu orang mengucapkan sumpahnya di bawah Sang Guru, sementara yang satunya lagi, bersumpah di bawah Devadatta. Mereka berdua saling bertemu sepanjang waktu, baik secara kebetulan maupun dengan mengunjungi wihara masing-masing. Suatu hari, murid Devadatta berkata kepada temannya, “Bhante, mengapa setiap hari engkau pergi berkeliling melakukan pindapata hingga keringat bercucuran di tubuhmu? Devadatta hanya perlu duduk dengan tenang di Gayāsīsa, dan hidup dari makanan dari kualitas terbaik yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan, tidak perlu melakukan apa yang kamu lakukan. Mengapa mencari penderitaan sendiri? Apakah tidak baik bagimu untuk datang pagi-pagi sekali ke wihara di Gayāsīsa, dan menikmati bubur nasi dengan makanan pembuka setelah itu, mencoba delapan belas jenis makanan padat yang kami miliki dan juga makanan lunak dengan mutu yang baik, yang dibumbui dengan semua bumbu pilihan?”


Karena selalu dibujuk untuk menerima undangan tersebut, bhikkhu ini mulai berniat untuk pergi, dan akhirnya ia pergi juga ke Gayāsīsa, ia makan dan makan, namun ia tidak lupa untuk kembali ke Weluwana pada waktunya. Bagaimanapun, ia tidak dapat terus merahasiakan hal itu; sedikit demi sedikit, bhikkhu yang lain mulai mengetahui ia selalu pergi ke Gayāsīsa dan menikmati makanan yang disediakan untuk Devadatta. Karena itu, teman-temannya bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang dikatakan mereka, bahwa engkau menghibur diri dengan makanan yang dipersembahkan untuk Devadatta?” “Siapa yang mengatakan hal itu?” “Si anu yang mengatakannya.” “Benar, Awuso, saya pergi ke Gayāsīsa dan makan di sana. Namun bukan Devadatta yang memberikan makanan kepadaku, bhikkhu lain yang melakukannya.” “Awuso, Devadatta adalah musuh Buddha; dengan akal liciknya, ia mendapatkan kesetiaan Ajātasattu, dan dengan cara jahat, ia memperoleh keuntungan dan penghormatan untuk dirinya. Namun, kamu yang mengambil sumpah berdasarkan ajaran yang akan membawa nibbana bagi kita, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar. Mari, kami akan membawamu menghadap Sang Guru.” Kemudian mereka membawa bhikkhu itu ke Balai Kebenaran.


Ketika Sang Guru melihat kedatangan mereka, Beliau bertanya, “Para Bhikkhu, mengapa bhikkhu ini dibawa bertentangan dengan kehendaknya?” “Bhante, bhikkhu ini, setelah mengucapkan sumpah di bawah pengawasan-Mu, makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara-cara yang tidak benar.” “Benarkah apa yang mereka katakan, bahwa engkau makan makanan yang diperoleh Devadatta dengan cara yang tidak benar?” “Bukan Devadatta yang memberikan makanan itu kepadaku, Bhante, melainkan orang lain.”
“Jangan membuat dalih di sini, Bhikkhu,” kata Sang Guru. “Devadatta adalah pemimpin yang buruk dengan prinsip yang salah. Oh, bagaimana engkau bisa, setelah mengambil sumpah di sini, makan makanan dari Devadatta, saat engkau menjalankan ajaran-Ku? Namun, engkau memang selalu mudah dipengaruhi, selalu mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai menterinya. Di saat itu, raja memiliki seekor gajah kerajaan  yang bernama Mahilamukha (Paras Gadis), yang sangat bijaksana dan penuh kebaikan, ia tidak pernah melukai siapa pun.
Suatu malam, beberapa orang pencuri berkumpul di dekat kandang gajah itu, mereka duduk sambil membicarakan rencana mereka : — “Inilah cara untuk menerobos masuk ke dalam sebuah rumah; dan ini adalah cara mendobrak masuk melalui dinding rumah; sebelum membawa kabur barang-barang curian, masuk dengan cara menerobos atau pun mendobrak dinding harus jelas dan terbuka, seperti melalui darat atau dengan menyeberangi sungai. Dalam membawa kabur barangbarang itu, jangan sampai terjebak dalam pembunuhan, di mana kamu tidak akan bisa melawan lagi. Seorang pencuri harus membuang semua kebaikan dan kebajikan yang ia miliki, agar ia cukup kejam. Ia harus menjadi orang yang penuh dengan kebengisan dan kekerasan.” Setelah saling mengajari satu sama lain dengan nasihat-nasihat itu, mereka membubarkan diri. Mereka datang lagi keesokan harinya, dan beberapa hari setelah itu, mereka selalu mengadakan percakapan yang sama sehingga akhirnya gajah itu menyimpulkan bahwa mereka datang untuk memberikan petunjuk kepadanya, bahwa ia harus berubah menjadi kejam, bengis dan penuh kekerasan. Dan seperti itulah ia berubah. Begitu pelatihnya muncul di pagi hari, gajah itu melilit lelaki itu dengan belalainya dan melemparkannya ke tanah hingga ia meninggal. Dengan cara yang sama ia memperlakukan orang kedua, ketiga dan setiap orang yang mendekatinya.
Berita itu disampaikan kepada Raja, bahwa Mahilamukha telah gila dan membunuh setiap orang yang terlihat olehnya. Raja segera mengundang Bodhisatta dan berkata, “Pergilah, wahai Yang bijaksana, temukan apa yang telah menyesatkannya.”
Bodhisatta pergi ke tempat gajah itu berada, ia memastikan bahwa gajah itu tidak menunjukkan tanda-tanda ada bagian tubuhnya yang sakit. Saat memikirkan kembali semua kemungkinan yang menyebabkan perubahan tersebut, ia tiba pada kesimpulan bahwa gajah itu pasti mendengar pembicaraan orang-orang yang berada di dekatnya. Gajah itu mengira mereka sedang memberikan petunjuk kepadanya, hal inilah yang menyesatkan hewan tersebut. Karena itu, ia bertanya kepada penjaga gajah tersebut apakah belakangan ini ada orang yang melakukan percakapan di dekat kandang gajah pada malam hari. “Ada, Tuanku,” jawab penjaga gajah itu, “beberapa orang pencuri datang kemari dan melakukan pembicaraan.” Kemudian Bodhisatta pergi menghadap raja dan berkata, “Tidak ada yang salah dengan gajah itu, Paduka, ia disesatkan oleh pembicaraan beberapa orang pencuri.” “Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?” “Undanglah orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana untuk duduk di dekat kandangnya dan membicarakan tentang kebaikan.” “Lakukanlah hal itu, Temanku,” kata Raja. Bodhisatta kemudian mengundang orang-orang yang penuh dengan kebaikan, para guru dan brahmana ke kandang gajah tersebut , dan meminta mereka untuk membicarakan hal-hal yang baik. Maka mereka semua, duduk didekat gajah tersebut, membicarakan hal berikut ini, “Jangan menganiaya maupun membunuh. Orang baik harus tahan terhadap penderitaan, tetap penuh cinta kasih serta murah hati.” Mendengar kata-kata tersebut, gajah itu berpikir mereka pasti memaksudkan itu sebagai bimbingan baginya, ia kemudian memutuskan untuk berubah menjadi baik. Maka ia pun berubah menjadi baik kembali.
“Baiklah, Temanku,” kata Raja kepada Bodhisatta, “sudahkah gajah itu berubah menjadi baik sekarang?” “Ya, Paduka,” kata Bodhisatta, “berterimakasihlah kepada mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan sehingga gajah yang telah tersesat itu kembali menjadi dirinya lagi.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini : —
Awalnya, dengan mendengarkan pembicaraan yang tidak benar dari para pencuri
Mahilamukha berubah, ia melukai dan membunuh ;
Akhirnya, dengan mendengar kata-kata yang mulia dari mereka yang bijaksana,
gajah kerajaan itu berubah menjadi baik kembali.
Raja itu berkata, “Ia bahkan mampu membaca pikiran hewan!” Raja menganugerahkan penghargaan besar kepada Bodhisatta. Setelah hidup hingga usia yang cukup tua, baik raja maupun Bodhisatta meninggal dunia dan terlahir di alam bahagia sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.
____________________
Sang Guru berkata, “Di kehidupan yang lampau, engkau juga mengikuti perkataan setiap orang yang engkau temui, Bhikkhu; saat mendengar ucapan pencuri, engkau mengikuti perkataan mereka; lalu mendengar kata-kata para bijaksana dan orang-orang baik, kamu juga mengikutinya.” Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang berkhianat ini adalah Mahilamukha di masa itu, Ānanda adalah sang raja, dan Saya sendiri adalah menteri tersebut.”


Inti cerita : Sebuah perkataan bisa saja mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik/buruk. Jadi ucapkanlah kata-kata yang baik