Sabtu, 20 Oktober 2012

Jika mengetahui hukuman, dan seterusnya .


MATAKABHATTA-JĀTAKA
Jika mengetahui hukuman, dan seterusnya .

     Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai (perayaan) makanan untuk orang-orang yang telah meninggal. Saat itu, para penduduk membunuh kambing, domba, hewan-hewan lainnya, dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal demi keselamatan sanak keluarga mereka yang mereka tinggalkan. Melihat para penduduk sedang melaksanakan upacara tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru, “Bhante, barusan para penduduk membunuh sejumlah makhluk hidup dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut sebagai perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal. Dapatkah hal itu membawa kebaikan, Bhante?”

     “Tidak, para Bhikkhu,” jawab Sang Guru, “pembunuhan yang dilakukan dengan tujuan mengadakan sebuah perayaan, tidak akan membawa kebaikan apa pun juga. Di kehidupan yang lampau, mereka yang bijaksana membabarkan Dhamma dengan melayang di udara, dan menunjukkan akibat buruk dari praktik
yang salah itu, membuat semuanya meninggalkan praktik tersebut. Namun dewasa ini, saat pengaruh kelahiran sebelumnya telah mengacaukan pikiran mereka, praktik salah itu muncul kembali.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

______________________

     Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, seorang brahmana yang sangat menguasai ajaran Tiga Weda, dan terkenal di seluruh dunia sebagai seorang guru, mempunyai ide mengadakan perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal. Ia mengambil seekor kambing dan berkata pada para muridnya, “Anak-anakku, bawa kambing ini ke sungai di bawah sana dan mandikan; kemudian pasangkan untaian bunga di lehernya, berikan padanya semangkuk padi-padian dan rapikan ia sedikit, lalu bawa ia kembali kepadaku.”

     “Baiklah,” jawab mereka, dan membawa kambing itu turun ke sungai, tempat ia dimandikan. Setelah itu, mereka merapikan kambing itu dan membawanya ke tepi sungai. Kambing yang mempunyai kesadaran akan perbuatannya di kelahiran yang lampau, merasa gembira memikirkan bahwa ia akan terbebas dari kesengsaraannya, ia tertawa dengan suara yang nyaring seperti bunyi panci yang jatuh. Namun saat memikirkan brahmana itu akan mendapatkan kesengsaraan karena membunuhnya, ia merasa sangat kasihan pada brahmana tersebut dan menangis dengan suara yang nyaring pula. “Teman,” kata seorang brahmana muda, “saat tertawa maupun menangis, suaramu sama nyaringnya; apa yang membuatmu tertawa dan apa juga yang membuatmu menangis?”

     “Tanyakan kembali pertanyaan ini di hadapan gurumu.”

     Dengan membawa kambing itu, mereka menemui sang guru, kemudian menceritakan kejadian itu kepada guru mereka. Mendengar cerita mereka, guru itu bertanya kepada kambing tersebut mengapa ia tertawa lalu menangis. Di saat inilah hewan yang mengetahui akibat perbuatannya di kelahiran yang lampau, karena mempunyai kemampuan untuk mengingat kembali tentang kelahirannya yang lampau, menyatakan hal ini kepada brahmana tersebut : — “Di kehidupan yang lampau, Brahmana, saya sama sepertimu, seorang brahmana yang sangat menguasai ajaran Weda, dan demi memberikan persembahan pada perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal, saya membunuh seekor kambing sebagai korban. Hanya karena membunuh seekor kambing, kepala saya telah dipenggal selama empat ratus sembilan puluh sembilan kali. Ini adalah yang kelima ratus kalinya, dan merupakan kelahiran saya sebagai seekor kambing yang terakhir kalinya. Saya tertawa dengan nyaring saat memikirkan saya akan segera terbebas dari kesengsaraan. Di sisi yang lain, saya menangis karena memikirkan bagaimana, karena membunuh seekor kambing, saya mendapatkan malapetaka dengan kehilangan kepala sebanyak lima ratus kali, dan kamu akan menerima hukuman karena membunuh saya, kamu juga akan mendapatkan malapetaka dengan kehilangan
kepala, seperti saya, sebanyak lima ratus kali. Karena rasa kasihan itulah saya menangis.” “Jangan takut, Kambing,” kata brahmana itu, “Saya tidak akan membunuhmu.” “Apa katamu, Brahmana?” seru kambing itu, “Baik engkau akan membunuhku maupun tidak, saya tidak akan dapat melepaskan diri dari kematian hari ini.” “Jangan takut; saya akan mendampingimu untuk menjagamu.” “Perlindunganmu merupakan kelemahan, Brahmana, dan akan memberi kekuatan pada hasil kejahatanku.”

     Setelah membebaskannya, brahmana memberi pesan kepada para muridnya, “Jangan sampai ada orang yang membunuh kambing itu.” Bersama beberapa pemuda, ia mengikuti hewan itu dalam jarak dekat. Setelah dibebaskan, kambing itu menjulurkan lehernya untuk makan daun-daun yang tumbuh di dekat puncak sebuah batu besar. Secara tiba-tiba, petir menyambar batu itu, satu pecahan batu yang besar menghantam kambing yang sedang menjulurkan lehernya itu dan terpisahlah kepala kambing dari badannya. Orang-orang berdatangan mengerumuni tempat itu.

     Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon di tempat itu. Dengan kekuatan gaibnya, ia duduk bersila melayang di udara, semua orang dalam kerumunan itu melihatnya. Ia berpikir, “Jika makhluk-makhluk ini mengetahui akibat perbuatan jahat mereka, mungkin mereka akan berhenti membunuh.” Maka dengan suara yang enak didengar, ia mengajarkan Kebenaran kepada mereka melalui syair ini,


     Jika mengetahui hukuman yang timbul adalah lahir
     dalam kesengsaraan, mereka yang hidup akan berhenti
     melakukan pembunuhan.
     Malapetaka adalah buah bagi seorang pembunuh.

     Setelah Sang Mahasatwa mengajarkan Kebenaran, para pendengarnya merasa takut pada penderitaan di neraka; orang-orang yang mendengar perkataannya, takut terhadap penderitaan yang ada di neraka, sehingga mereka berhenti membunuh. Dan Bodhisatta sendiri, setelah berhasil membuat mereka menjalankan sila melalui Dhamma yang dibabarkannya, meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia. Orang-orang itu juga, mereka yang tetap setia pada ajaran Bodhisatta, menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, setelah meninggal terlahir kembali di alam dewa.

____________________

     Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Di masa itu, Saya adalah dewa pohon.” 

Rabu, 17 Oktober 2012

Dalam ketiga sikap tubuh, dan seterusnya .


TIPALLATTHA-MIGA-JĀTAKA
“Dalam ketiga sikap tubuh,” dan seterusnya .

     Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di Arama Badarika di Kosambī, mengenai Thera Rāhula, yang memiliki ketetapan hati untuk menjalankan peraturan dalam Sanggha.

     Ketika Sang Guru menetap di Wihara Aggālava dekat Kota Ālāvi, banyak upasaka, upasika, bhikkhu dan bhikkhuni datang berduyun-duyun menuju tempat tersebut untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ketika khotbah disampaikan pada siang hari, tidak ada satu pun upasika atau bhikkhuni yang hadir, yang ada hanya upasaka dan para bhikkhu. Kemudian khotbah disampaikan di sore hari; setelah selesai, para bhikkhu senior kembali ke bilik mereka masing-masing. Sementara para samanera bersama upasaka lainnya beristirahat di baktisala. Saat mereka terlelap, terdengar suara dengkuran, dengusan serta suara kertakan gigi. Setelah tidur sejenak, beberapa orang terbangun, kemudian melaporkan ketidaklayakan yang mereka saksikan kepada Sang Bhagawan. Beliau berkata, “Jika seorang bhikkhu tidur bersama (satu atap) dengan para samanera, itu adalah pelanggaran Pācittiya (diperlukan adanya pengakuan dan pengampunan).” Setelah menyampaikan peraturan latihan tersebut, Beliau pergi ke Kosambī.

     Para bhikkhu berkata kepada Rāhula, “Awuso, Sang Bhagawan telah menetapkan peraturan latian ini, mohon Anda mencari tempat tinggal untuk Anda sendiri.” Sebelumnya, karena menghormati ayahnya, dan karena keinginan anak tersebut yang kuat untuk menjalankan peraturan-peraturan Sanggha, mereka menerima anak muda itu dengan senang hati bahkan memintanya menganggap tempat itu seperti rumahnya sendiri; mereka membuatkan tempat tidur kecil yang cocok untuknya dan memberikan kain untuk dijadikan bantal olehnya. Namun saat kisah ini terjadi, mereka bahkan tidak bersedia menyisihkan tempat di gudang kepadanya, takut kalau mereka akan melanggar peraturan. Rāhula yang mulia tidak pergi kepada Sang Buddha selaku ayahnya, pun tidak pergi ke Sāriputta, sang Panglima Dhamma selaku guru pelantiknya (upajjhāya), pun tidak pergi ke Moggallāna selaku gurunya (ācariya), pun tidak pergi ke Thera Ānanda selaku pamannya, ia pergi ke kamar mandi Sang Buddha dan menetap di sana seakan berada di sebuah gedung yang sangat menyenangkan. Kamar mandi Sang Buddha ini sendiri pintunya selalu tertutup rapat; permukaan lantainya merupakan lapisan tanah yang wangi; bunga dan rangkaian bunga menghiasi dinding-dindingnya; dan sepanjang malam, sebuah lampu menerangi tempat tersebut. Namun, bukan hal-hal tersebut yang mendorong Rāhula menetap di sana, sama sekali bukan. Ia hanya menuruti perkataan para bhikkhu agar ia mencari tempat tinggal sendiri dan karena ia menghormati perintah yang diberikan kepadanya, juga karena keinginannya untuk menjalankan peraturan Sanggha. Biasanya, para bhikkhu dari waktu ke waktu, dengan alasan untuk mengujinya, begitu melihat kedatangannya dari jauh, selalu menjatuhkan sapu maupun pembersih debu lainnya ke lantai, kemudian pura-pura bertanya siapa yang telah menjatuhkan barang itu saat Rāhula telah dekat. “Yah, Rāhula yang datang dari arah itu,” merupakan perkataan mereka selanjutnya. Namun calon thera itu tidak pernah mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut, dengan rendah hati ia memohon maaf dari para bhikkhu, dan tidak akan pergi sebelum ia dimaafkan; begitu antusiasnya ia menjalankan peraturan-peraturan tersebut. Hal inilah yang merupakan penyebab utama ia mau tinggal di
kamar mandi tersebut.

     Suatu hari, saat langit masih belum terang, Sang Buddha berdiri di depan kamar mandi dan berdehem. Suara tersebut di balas oleh Bhikkhu Rāhula. “Siapa yang berada di dalam sana?” tanya Sang Buddha. “Saya, Rāhula,” jawabnya; anak muda itu kemudian muncul dan memberi hormat kepada Sang Buddha. “Mengapa engkau tidur di sini, Rāhula?” “Karena saya tidak tahu harus pergi ke mana. Sebelum ini, para bhikkhu memperlakukan saya dengan sangat baik, Bhante; saat ini mereka semua takut melakukan pelanggaran sehingga mereka tidak bersedia menampungku lagi. Akhirnya saya tinggal di sini, karena saya pikir ini adalah tempat dimana saya tidak akan berhubungan dengan orang lain.”

     Sang Guru berpikir sendiri, “Jika Rāhula saja diperlakukan seperti ini, apa yang tidak bisa mereka lakukan terhadap anak-anak (muda) lainnya yang diterima dalam Bhikkhu Sanggha?” Hati-Nya tergerak untuk menunjukkan kebenaran. Maka saat pagi tiba, Beliau mengumpulkan semua bhikkhu, dan bertanya pada sang Panglima Dhamma, “Sāriputta, tahukah engkau dimana Rāhula tinggal selama ini?”

     “Tidak, Bhante, saya tidak tahu.”

     “Sāriputta, selama ini Rāhula tinggal di kamar mandi. Jika Rāhula saja mendapatkan perlakuan seperti ini, apa yang tidak bisa dilakukan mereka terhadap anak muda lain yang engkau terima dalam Sanggha? Perlakuan seperti ini tidak akan mampu diterima oleh mereka yang bergabung dalam Sanggha. Di masa yang akan datang, terimalah para samanera untuk tinggal di tempatmu selama satu atau dua hari, dan pada hari ketiga minta mereka untuk pindah ke tempat lain, dan engkau harus mengetahui tempat tinggal mereka.” Demikianlah Sang Guru menetapkan peraturan latihan dengan tambahan ini.

     Saat berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan kebaikan Rāhula, “Lihatlah, Awuso, betapa besarnya niat Rāhula untuk menjalankan peraturan-peraturan itu. Saat mencari tempat tinggal, ia tidak mengatakan, ‘Saya adalah putra dari Sang Buddha; apa yang kamu lakukan di tempat ini? Berikan tempat tinggal ini kepadaku’. Tidak, tidak ada satu pun bhikkhu yang ia usir, malah, ia memilih tinggal di dalam kamar mandi.”

     Saat mereka sedang membicarakan hal tersebut, Sang Guru memasuki tempat itu dan duduk di tempat-Nya, dan bertanya, “Apa topik pembicaraan kalian, para Bhikkhu?”

     “Bhante,” jawab mereka, “kami sedang membicarakan niat Rāhula yang sangat besar dalam menjalankan peraturan peraturan Sanggha, bukan membicarakan hal-hal yang lain.”

     Sang Guru berkata, “Hal ini tidak ditunjukkannya saat ini saja, di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama, bahkan saat ia terlahir sebagai hewan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

_____________________

     Sekali waktu seorang Raja Magadha memerintah di Rājagaha, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan, ia tinggal di sebuah hutan sebagai pemimpin dari sekawanan rusa. Kakaknya membawa anak laki-lakinya menghadap Bodhisatta, berkata, “Adikku, ajari keponakanmu tentang cara-cara rusa menghindari penangkapan.” “Pasti,” jawab Bodhisatta, “pulanglah sekarang, Nak, dan datang pada waktu ini dan itu untuk menerima pelajaran.” Tepat pada waktu yang disebut pamannya, rusa muda itu tiba dan menerima pelajaran tentang cara-cara tersebut.

     Suatu hari, saat sedang menjelajahi hutan, ia terjebak dalam perangkap. Ia mengeluarkan suara tangis yang menyedihkan karena terjebak dalam perangkap itu. Kawanan rusa yang lain segera melarikan diri dan menyampaikan hal itu kepada ibunya. Ia segera menemui adiknya dan bertanya apakah anaknya telah mempelajari cara-cara tersebut. “Jangan khawatir; anakmu tidak akan melakukan kesalahan,” kata Bodhisatta. “Ia telah mempelajari semua cara-cara rusa menghindari penangkapan, dan akan segera kembali untuk menerima sambutan darimu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia mengulangi syair-syair berikut ini :

     Dalam ketiga sikap tubuh — punggung dan kedua
     sisinya — anakmu telah mempelajarinya,
     ia telah dilatih untuk menggunakan kedelapan kukunya,
     kecuali di tengah malam, ia tidak akan melepas
     dahaganya,
     saat terbaring di tanah, ia akan terlihat tanpa daya,
     hanya bernafas dengan bagian bawah hidung.
     Ia mengetahui enam cara untuk menipu lawannya.

     Dengan syair itulah Bodhisatta menghibur kakaknya, menunjukkan bagaimana anaknya telah menguasai seluruh cara-cara itu. Sementara itu, rusa muda yang terjebak dalam perangkap itu tidak melakukan perlawanan, melainkan berbaring merebahkan sisi-sisi tubuhnya, dengan kaki terentang keluar tegang dan kaku. Ia mengais tanah di sekitar kuku-kukunya untuk menjatuhkan rumput dan tanah; membuatnya terasa alami; kepalanya terkulai; ia juga menjulurkan lidah; meliuri sekujur tubuhnya; menggembungkan diri dengan menarik nafas; membalikkan mata; hanya bernafas dengan bagian bawah hidungnya; menahan nafas di hidung bagian atas; membuat dirinya terkesan tegang dan kaku seperti mayat. Beberapa ekor lalat hijau bahkan mengerumuninya; dan disekitarnya juga terdapat burung gagak.

     Pemburu itu datang, ia memukul perut rusa itu dengan tangannya dan berkata, “Ia pasti terperangkap tadi pagi; ia telah menjadi amis.” Setelah itu, ia melepaskan rusa dari ikatannya, dengan berkata, “Saya akan memotongnya di sini dan membawa dagingnya pulang ke rumah.” Saat pemburu itu mengumpulkan kayu dan dedaunan (untuk membuat api), rusa itu berdiri dan membebaskan dirinya, ia menarik lehernya, dan seperti awan kecil yang menghindari angin topan, berlari dengan cepat kembali ke pelukan ibunya.

     ____________________

     Setelah mengulangi apa yang telah Beliau katakan bahwa di kehidupan yang lampau, Rāhula juga menunjukkan keinginan yang sangat besar untuk menjalankan peraturan-peraturan itu, tidak kurang dibandingkan dengan apa yang ditunjukkannya di kehidupan ini. Sang Guru kemudian mempertautkan kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Rāhula adalah rusa muda di masa itu, Uppalavannā adalah ibunya dan Saya sendiri adalah paman rusa tersebut.”

Inti cerita adalah:

  • seorang yang patuh dengan apa yang dikatakan oleh yang bijaksana maka akan selalu selamat dan berbahagia selalu.

Senin, 15 Oktober 2012

Tidak ada hal yang lebih buruk, dan seterusnya .


VĀTAMIGA-JĀTAKA
“Tidak ada hal yang lebih buruk, dan seterusnya .


     Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika). Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, ketika Sang Guru menetap di Weluwana dekat Rājagaha, seorang keturunan bangsawan, yang bernama Pangeran Tissa, datang ke Weluwana untuk mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Guru. Ia kemudian memiliki niat untuk bergabung menjadi anggota Sanggha, namun ditolak karena orang tuanya tidak memberikan izin. Ia mendapatkan persetujuan dari orang tuanya setelah mengikuti Raṭṭha-pāla dan mogok makan selama tujuh  hari, akhirnya ia menerima penahbisan dari Sang Guru.


     Sekitar dua minggu setelah menerima anak muda ini, Sang Guru meninggalkan Weluwana menuju ke Jetawana, dimana bangsawan muda ini menjalankan tiga belas latihan (moralitas) dhutaṅga dan menghabiskan waktunya dengan mencari dana makanan dari rumah ke rumah, tanpa melakukan hal lain lagi. Dengan nama Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya (Cūḷapiṇḍapātika), ia menjadi sinar yang terang dan bercahaya dalam ajaran Buddha, laksana bulan di langit.


     Saat sebuah perayaan sedang berlangsung di Rājagaha, orang tua thera tersebut meletakkan perhiasan-perhiasan kecil, yang biasa dipakainya saat masih merupakan umat awam, ke dalam sebuah kotak perak; menempelkan kotak itu ke dada, ibunya meratap, “Dalam perayaan yang lain, anak kami mengenakan perhiasan yang ini atau itu ketika mengikuti perayaan-perayaan tersebut; dia, putra tunggal kami, telah dibawa pergi oleh Petapa Gotama ke Kota Sawatthi. Dimanakah ia duduk atau berdiri sekarang ini?” Seorang pelayan wanita yang masuk ke dalam rumah melihat majikannya sedang menangis, menanyakan mengapa ia menangis; sang majikan pun menceritakan penyebab kesedihannya.


     “Apa yang paling disukai oleh putramu, Nyonya?” “Ia menyukai ini dan itu,” jawabnya. “Baiklah, jika nyonya bersedia memberikan kekuasaan kepada saya atas rumah ini, saya akan membuat ia kembali ke rumah ini.” “Baik,” jawab sang majikan menyetujui hal tersebut, ia memberikan sejumlah uang untuk pengeluaran gadis itu dan mengirimnya pergi beserta sejumlah pendamping. Sang majikan berkata padanya, “Pergilah dan bawa putraku kembali.”


     Gadis pelayan itu menaiki tandu dan segera berangkat ke Sawatthi. Di sana, ia menetap di jalan yang sering dilalui oleh thera tersebut dalam menerima dana makanan. Dengan dikelilingi pelayannya sendiri, dan tidak membiarkan thera itu melihat pelayan ayahnya, ia memperhatikan saat thera itu muncul di jalan, lalu mendanakan makanan dan minuman. Setelah mengikat thera itu dengan rangkaian rasa yang membuatnya ketagihan, ia membuat thera itu selalu datang ke rumahnya, hingga akhirnya ia yakin bahwa dana yang ia berikan telah berhasil membuatnya menguasai thera tersebut. Setelah itu, ia berpura-pura sakit, dan berbaring di bilik dalam rumahnya.



     Saat thera tersebut melakukan pindapata di jalan itu, ia tiba di depan pintu rumah gadis itu; pelayannya mengambil patta thera tersebut dan mempersilakannya untuk duduk.

     Setelah duduk, ia bertanya, “Dimanakah Saudari itu?” “Ia sedang sakit, Bhante. Ia akan senang melihat kedatanganmu.”

     Karena telah diikat dengan rangkaian rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia melanggar sumpah dan kewajibannya, ia pergi ke tempat gadis itu terbaring.

     Gadis itu menceritakan alasan kedatangannya, membuat ia sedemikian rupa, karena ketagihan akan rasa, bersedia meninggalkan Sanggha; saat masih berada di bawah pengaruh gadis itu, ia dimasukkan ke dalam tandu dan kembali ke Rājagaha bersama rombongan itu.

     Kejadian itu tersiar di mana-mana. Saat duduk di Balai Kebenaran, para bhikkhu mendiskusikan kejadian tersebut, berkata, “Awuso, ada laporan bahwa seorang pelayan wanita menggunakan rangkaian makanan yang rasanya menimbulkan ketagihan untuk mengikat dan membawa pergi Thera Tissa, orang kecil yang hanya menyantap makanan yang diterima dalam pattanya.” Sang Guru memasuki Balai Kebenaran, dan duduk di tempat duduk-Nya yang dihiasi dengan batu permata dan berkata, “Para Bhikkhu, apa yang menjadi topik pembicaraan pertemuan ini?” Mereka lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Beliau.

     “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya karena terikat pada rasa makanan yang membuatnya ketagihan, ia jatuh ke dalam kuasa wanita itu; ia juga mengalami kejadian yang sama di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

-------------------------


     Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ia mempunyai seorang tukang kebun yang bernama Sañjaya. Suatu hari, seekor rusa angin (vātamiga) masuk ke taman peristirahatan raja dan lari menghilang dalam sekejap saat Sañjaya menyadari keberadaannya, namun Sañjaya membiarkannya tanpa membuat hewan itu menjadi ketakutan. Setelah beberapa kali muncul, rusa itu mulai terbiasa menjelajahi tempat itu. Tukang kebun tersebut mempunyai kebiasaan untuk mengumpulkan bunga dan buah, kemudian membawakannya kepada raja setiap harinya. Suatu hari, raja bertanya kepadanya, “Pernahkah kamu melihat sesuatu yang asing di taman peristirahatanku?” “Hanya seekor rusa angin, Paduka.” “Menurutmu, dapatkah kamu menangkapnya?” “Ya, jika saya mendapat sedikit madu, saya akan membawa rusa itu ke istana.”

     Raja memerintah agar madu diantarkan kepada tukang kebun itu. Pergilah tukang kebun ke taman peristirahatan raja dengan madu di tangannya. Mula-mula, ia mengoleskan madu ke rumput di tempat yang sering didatangi oleh rusa itu, kemudian bersembunyi. Ketika rusa itu muncul dan merasakan rumput yang telah diberi madu itu, ia terjerat oleh rasa harum rumput itu, sehingga ia hanya akan datang ke tempat itu saja.
Melihat jeratannya telah memberikan hasil yang baik, tukang kebun itu secara berangsur-angsur memperlihatkan diri kepadanya. Kehadiran tukang kebun membuatnya melarikan diri di hari pertama dan hari kedua. Namun, setelah terbiasa melihat kehadiran tukang kebun tersebut, ia mulai merasa percaya padanya dan mulai mau makan rumput dari tangan tukang kebun itu. Tukang kebun yang menyadari bahwa ia telah memenangkan kepercayaan hewan itu, mulai menyebarkan cabang pohon hingga setebal permadani untuk menutupi jalan setapak di taman peristirahatan raja, kemudian mengikat sebuah labu yang telah dipenuhi oleh madu di bahunya, dan menempelkan seikat rumput di pinggang bajunya. Ia menjatuh sedikit demi sedikit rumput yang telah diolesi madu itu di hadapan rusa tersebut, hingga akhirnya mereka tiba di dalam istana. Begitu rusa itu menginjakkan kakinya di dalam istana, mereka segera menutup pintu. Di bawah tatapan para manusia, rusa itu ketakutan dan gemetaran, berusaha menyelamatkan diri dengan berlari hilir
mudik di aula istana; Raja turun dari kamarnya yang berada di tingkat atas istana, melihat hewan yang sedang gemetaran itu, berkata, “Begitu takutnya rusa angin ini sampai-sampai selama seminggu penuh tidak akan mengunjungi tempat yang ada manusianya. Dan tempat dimana ia pernah ditakut-takuti, ia tidak akan pernah kembali lagi sepanjang hidupnya. Namun, karena terjerat oleh rasa yang begitu menggoda, hewan liar dari hutan ini benar-benar telah datang ke tempat seperti ini. Sungguh, Teman-temanku, tidak ada hal yang lebih hina dibanding rasa yang penuh godaan itu.” Ia memasukkan ajarannya dalam syair di bawah ini :


Tidak ada hal yang lebih buruk lagi, dibanding jerat(nafsu) rasa, baik di rumah maupun di tempat teman.Demikianlah rasa itu berhasil membuat Sañjayamembawa rusa liar ini datang ke sini.
     Dengan kata-kata inilah raja melepaskan kijang itu kembali ke hutan.

---------------------------

     Saat Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya, Beliau mengulangi bahwa bhikkhu itu pernah jatuh pada
kekuasaan wanita tersebut di kelahiran yang lampau, sama seperti yang terjadi di kelahiran ini. Kemudian mempertautkan kedua cerita dan menjelaskan tentang kelahiran itu dengan berkata, “Gadis pelayan itu adalah Sañjaya; Cūḷapiṇḍapātika adalah rusa, dan Saya sendiri adalah Raja Benares.”

Inti cerita adalah:

  • Janganlah terbuai oleh nafsu indria.









Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin, dan seterusnya.



NIGRODHAMIGA-JĀTAKA
“Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin, dan seterusnya.”

     Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang ibunda dari Thera Kassapa. Seperti yang diketahui, ia adalah putri dari seorang saudagar kaya di Rājagaha, ia sangat menjunjung kebaikan dan memandang rendah hal-hal yang bersifat duniawi; ia telah mencapai kelahiran terakhirnya, di dalam dirinya seperti nyala lampu dalam kegelapan, terpancar keyakinan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Begitu memahami keinginannya, ia tidak lagi menikmati kesenangan indriawi, yang ada hanya niat untuk meninggalkan keduniawian. Untuk mencapai keinginannya, ia mengatakan kepada ibu dan ayahnya, “Orang tuaku yang tercinta, saya tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan keduniawian ini, saya merasa malu jika tidak menjalankan ajaran Buddha. Biarkan saya menjadi anggota Sanggha.”

     “Apa, Anakku? Kita adalah keluarga yang sangat kaya, dan kamu adalah putri tunggal kami. Kamu tidak boleh menjadi anggota Sanggha.”


     Gagal mendapatkan persetujuan orang tuanya walaupun ia mengulangi permintaan itu lagi dan lagi, akhirnya ia berpikir, “Kalau begitu, setelah saya menikah, saya akan meminta persetujuan dari suami saya dan menjadi anggota Sanggha.” Setelah dewasa ia menikah, ia menjadi seorang istri yang berbakti, dan menjalani hidup dengan penuh kebaikan dan kebajikan di rumah barunya. Telah tiba saat baginya untuk melepaskan impiannya, walaupun ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya.


     Saat sebuah perayaan berlangsung di kota, semua orang mendapatkan libur, kota itu dihiasi menyerupai kota dewa. Namun ia, bahkan di saat puncak perayaan, tidak berdandan maupun memakai perhiasan, ia hanya tampil seadanya seperti hari-hari biasa. Suaminya bertanya, “Istriku, semua orang sedang bergembira, mengapa engkau tidak bersemangat?”


     “Pemimpin dan Tuanku,” ia menjawab, “badan ini diisi dengan tiga puluh dua komponen, jadi mengapa ia harus dihias? Badan ini bukan cetakan dari dewa maupun brahma; tidak terbuat dari emas, permata, atau kayu cendana; tidak dikandung dalam bunga teratai, baik yang putih, merah maupun biru; tidak diisi dengan balsem keabadian. Tidak, badan ini akan rusak, dilahirkan oleh manusia biasa, mutu badan ini ditentukan oleh apa yang ia pakai dan yang dihabiskannya, ia akan hancur dan binasa karena bersifat sementara; sudah pasti ia akan dikubur, dan juga dipenuhi dengan nafsu keinginan; sumber penderitaan dan ratapan kita; tempat tinggal segala jenis penyakit, dan tempat dimana kita menimbun karma. Di dalamnya juga kotor selalu mengeluarkan kotoran. Yah, seperti yang dapat dilihat semua orang, diakhiri oleh kematian, dibawa ke pemakaman, kemudian dijadikan tempat tinggal bagi cacing-cacing. Apa yang dapat saya peroleh, Suamiku, dengan membuatnya menarik? Bukankah mendandaninya sama dengan menghiasi bagian luar dari kotoran yang telah dibungkus?”


     “Istriku,” balas saudagar muda itu, “jika engkau menganggap tubuh ini begitu menjijikkan, mengapa engkau tidak menjadi seorang bhikkhuni saja?”


     “Jika saya diterima, Suamiku, saya akan bergabung secepat mungkin.” “Baiklah,” jawab suaminya, “saya akan membuatmu diterima oleh Sanggha Bhikkhuni.” Suaminya memberikan sejumlah hadiah dan bersikap ramah terhadap Sanggha, mengirimkan sejumlah orang untuk mendampingi istrinya di kuti, ia pun diterima menjadi bhikkhuni, namun dalam Sanggha yang dipimpin oleh Devadatta. Bagian yang baik adalah, ia merasa bahagia karena keinginannya untuk menjadi bhikkhuni telah terpenuhi.


     Dengan berlalunya waktu, para bhikkhuni melihat ada perubahan dalam dirinya, keringat di tangan dan kakinya serta badan yang semakin gemuk, berkata, “Ayya, kamu terlihat seperti orang yang sedang mengandung; apa yang telah terjadi sebenarnya?”


     “Saya tidak tahu, Ayya; saya hanya tahu saya sedang menjalankan hidup yang suci.”


     Para bhikkhuni membawanya menghadap Devadatta, berkata, Yang Mulia, wanita ini, yang menjadi bhikkhuni dengan persetujuan yang diberikan secara berat hati oleh suaminya, terlihat sedang mengandung. Namun apakah ini terjadi sebelum atau sesudah ia menjadi bhikkhuni, tidak bisa kami katakan. Apa yang harus kami lakukan?”


     Belum menjadi Buddha dan tidak mempunyai kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih, Devadatta berpikir, “Akan menjadi kabar yang merusak citraku jika hal ini tersebar keluar, bahwa salah seorang bhikkhuni pengikutku sedang mengandung dan aku mengampuni pelanggaran yang dilakukannya. Sudah jelas apa yang harus aku lakukan aku harus mengeluarkannya dari Sanggha.” Tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu, tangannya bergerak ke depan seakan mendorong tumpukan batu, ia berkata, “Pergi, usir wanita ini !”


     Menerima jawaban itu, mereka bangkit, memberikan hormat, kemudian kembali ke kuti mereka. Wanita itu berkata kepada para bhikkhuni, “Ayya, Devadatta bukanlah Sang Buddha. Saya tidak mengambil sumpah terhadap Devadatta, namun terhadap Buddha, yang terkemuka di seluruh dunia. Jangan rampas kesempatan yang telah saya peroleh dengan susah payah ini; bawa saya ke Jetawana untuk menghadap Sang Guru.” Maka mereka membawanya ke Jetawana, dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh lima yojana dari Rājagaha, setelah tiba di sana, mereka memberikan penghormatan kepada Sang Guru dan memaparkan kejadian tersebut kepada Beliau.


     Sang Guru berpikir, “Sekalipun anak ini dikandung sewaktu ia masih umat awam, hal ini akan memberi kesempatan kepada orang-orang untuk mengatakan bahwa Petapa Gotama menerima bhikkhuni yang diusir oleh Devadatta. Untuk menghindari hal tersebut, kasus ini harus dibicarakan di hadapan raja dan pengadilannya.” Maka keesokan harinya Beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anāthapiṇḍika dan anaknya, Visākhā – upasika yang terkenal dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Sorenya, keempat kelompok siswa Sang Buddha telah berkumpul – bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika – Beliau berkata kepada Thera Upāli, “Pergilah untuk menjelaskan masalah bhikkhuni tersebut di hadapan keempat kelompok siswa-Ku.”

     “Akan segera saya laksanakan, Bhante,” jawab thera itu, dan segera pergi ke tempat mereka berkumpul. Di sana, ia duduk di tempatnya, kemudian memanggil Visākhā – upasika yang merupakan siswa Sang Buddha, di bawah tatapan raja, memintanya untuk memimpin penyelidikan tersebut, dengan berkata, “Pertama, tegaskan pada tanggal berapa bulan berapa wanita ini bergabung dalam Sanggha Bhikkhuni, Visākhā; kemudian hitung apakah ia mengandung sebelum atau sesudah tanggal tersebut.”

     Untuk melaksanakan perkataan thera itu, para wanita memasang tirai membentuk penyekat, ke sanalah Visākhā dan wanita itu pergi. Dengan memperhatikan tangan, kaki, pusar, dibandingkan dengan hari dan bulan, Visākhā mendapatkan bahwa kehamilan itu terjadi sebelum wanita itu menjadi bhikkhuni. Hal ini kemudian di sampaikan kepada Thera Upāli, yang mengumumkan bahwa bhikkhuni tersebut tidak bersalah di hadapan semua orang yang berkumpul di tempat tersebut. Setelah dinyatakan tidak bersalah, ia memberikan penghormatan kepada Sanggha dan Sang Guru, kemudian kembali ke tempat tinggal mereka.

     Ketika waktu untuk melahirkan telah tiba, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang penuh semangat, seperti apa yang pernah ia minta di kaki Buddha Padumuttara di kelahiran lampau. Suatu hari, saat raja melewati kuti itu, ia mendengar suara tangisan bayi dan bertanya kepada para menterinya mengapa terdapat bayi di kuti itu. Para menteri yang mengetahui kejadian tersebut menjelaskan kepada raja bahwa itu adalah tangisan dari bayi yang dilahirkan oleh bhikkhuni tersebut. “Tuan-tuan,” kata raja, “mengasuh anak akan menghalangi para bhikkhuni menjalani kehidupan suci mereka, biar kita yang bertanggung jawab mengasuh anak itu.” Bayi itu kemudian diambil dari ibunya atas perintah raja. Ia pun diasuh layaknya seorang pangeran. Saat pemberian nama tiba, ia diberi nama Kassapa, namun lebih dikenal sebagai Pangeran Kassapa, karena ia dibesarkan layaknya seorang pangeran.

     Pada usia tujuh tahun, ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sang Guru, dan menjadi bhikkhu setelah ia cukup dewasa. Dengan berlalunya waktu, ia menjadi terkenal karena kemampuannya dalam menjelaskan Dhamma secara terperinci. Sang Guru memberinya hak istimewa dengan mengatakan, “Para Bhikkhu, di antara para siswa-Ku, Kassapa adalah orang pertama yang paling fasih dalam menyampaikan Dhamma.” Kemudian, melalui pengamalan Vammika Sutta ia mencapai tingkat kesucian Arahat. Demikian pula dengan ibunya, bhikkhuni itu, dengan pandangan yang jernih berhasil mencapai jhana tertinggi. Kassapa adalah seorang thera yang bercahaya dalam ajaran Buddha, laksana bulan purnama di langit. Suatu siang, setelah Sang Tathāgata kembali dari pindapata, Beliau membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, kemudian masuk ke dalam kamarnya yang wangi (gandhakuṭī) untuk beristirahat. Setelah khotbah berakhir, para bhikkhu menghabiskan sepanjang siang, di luar waktu istirahat siang mereka hingga menjelang sore hari saat berkumpul di Dhammasabhā (Balai Kebenaran), membicarakan hal berikut ini : “Awuso, Devadatta, yang bukan seorang Buddha dan tidak memiliki kemurahan hati, cinta kasih dan belas kasih, hampir saja mengacaukan hidup Thera Kassapa dan hidup ibunya yang juga seorang bhikkhuni itu. Namun, Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, Raja Dhamma yang sempurna dalam kebajikan, cinta kasih dan belas kasih, telah menyelamatkan hidup mereka.” Saat mereka sedang memuji tindakan Sang Buddha, Beliau memasuki balai itu dengan kemuliaan seorang Buddha. Setelah duduk di tempatnya, Beliau menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan pada saat itu. “Tentang kebaikan-Mu, Bhante,” jawab mereka, lalu menceritakan semua pembicaraan mereka kepada Beliau.

     “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sang Tathāgata membuktikan dan menyelamatkan hidup mereka berdua; hal yang sama juga terjadi di kehidupan lampau.”

     Kemudian, atas permintaan para bhikkhu, Beliau menjelaskan apa yang tidak diketahui mereka karena adanya kelahiran kembali.

---------------------------

     Sekali waktu Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa. Saat dilahirkan, ia berwarna keemasan, matanya bulat bagaikan batu permata; tanduknya berkilau keperakan; bibirnya merah bagai sekumpulan kain merah tua; kuku di keempat kakinya terlihat seperti di pernis; ekornya bagaikan ekor yak; dan tubuhnya sebesar anak kuda. Bersama lima ratus ekor rusa lainnya, ia tinggal di sebuah hutan, ia di kenal sebagai Raja Rusa Beringin (Nigrodhamiga). Di dekat mereka, terlihat seekor rusa lain bersama lima ratus ekor rusa pendampingnya, rusa tersebut bernama Rusa Cabang (Sākhamiga), juga berwarna keemasan seperti Bodhisatta.

     Pada masa itu, Raja Benares sangat suka berburu dan selalu memakan daging setiap kali ia makan. Setiap hari ia mengumpulkan semua penduduknya, baik orang desa maupun orang kota, untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi berburu bersamanya. Rakyat kemudian berpikir, “Raja menghentikan semua kegiatan kami. Kami harus menyebarkan makanan dan menyediakan air minum untuk rusa rusa yang berada di taman peristirahatan raja, kemudian menggiring sejumlah rusa liar ke tempat tersebut, mengurung mereka menyebarkan rumput untuk rusa-rusa di taman peristirahatan raja, menyediakan air minum, dan membuka pintu gerbang selebar mungkin. Kemudian mereka meminta orang-orang kota masuk ke dalam hutan dengan membawa tongkat dan semua jenis senjata lainnya untuk mencari rusa. Mereka mengelilingi hutan itu dengan radius satu yojana, bertujuan untuk menangkap rusa-rusa yang berada dalam lingkaran yang mereka buat. Saat berkeliling, mereka tiba di tempat yang sering didatangi oleh kawanan Rusa Beringin dan Rusa Cabang. Begitu melihat kawanan rusa itu, mereka mulai memukuli pepohonan, rerumputan dan tanah dengan menggunakan tongkat mereka, hingga akhirnya kawanan rusa itu berhasil mereka giring keluar dari sarang mereka. Setelah itu mereka membuat suara hiruk pikuk dengan memukulkan pedang, tongkat dan busur mereka untuk menggiring kawanan rusa tersebut ke taman peristirahatan raja, dan segera menutup pintu gerbang tempat tersebut. Kemudian mereka menghadap raja, berkata, “Paduka, Anda memerintahkan kami menghentikan semua kegiatan kami dan meminta kami pergi berburu; sekarang kami telah menggiring sejumlah besar rusa untuk memenuhi taman peristirahatanmu. Mulai sekarang, jadikanlah mereka santapanmu.”

     Raja segera mengunjungi taman peristirahatan, saat mengamati kawanan rusa itu, ia melihat dua ekor rusa yang berwarna keemasan, dan menganugerahkan kekebalan terhadap hukuman mati kepada mereka. Kadang-kadang raja mengunjungi tempat itu, menembaki salah seekor rusa lalu membawa bangkai rusa itu pulang; Kadang-kadang, koki istana yang akan datang untuk membunuh salah seekor kawanan rusa itu. Begitu melihat busur, kawanan rusa itu berlari ketakutan untuk menyelamatkan nyawa mereka; setelah mendapat dua hingga tiga luka di badan, mereka menjadi lemas dan jatuh pingsan, kemudian dibunuh. Kawanan rusa ini menceritakan hal tersebut kepada Bodhisatta, ia kemudian mengundang Rusa Cabang dan berkata, “Teman, sejumlah rusa telah dibunuh; walaupun mereka tidak bisa lolos dari kematian, paling tidak mereka tidak perlu menerima luka yang tidak perlu mereka derita. Mereka akan menerima kematian secara bergiliran. Satu hari dari kawananku dan keesokan harinya giliran kawananmu, rusa yang mendapat giliran harus pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati itu dan berbaring dengan posisi kepala berada di balok hukuman mati tersebut. Dengan cara ini, rusa-rusa yang lain tidak perlu menderita luka.” Rusa Cabang itu setuju; mulai saat itu, rusa yang mendapat giliran, pergi ke sana dan berbaring dengan leher berada di balok tersebut. Koki yang datang hanya akan membunuh korban yang telah menunggu kematiannya.

     Suatu hari, giliran itu jatuh ke tangan seekor rusa betina dari kawanan Rusa Cabang yang sedang mengandung. Ia mencari Rusa Cabang dan berkata, “Tuanku, saya sedang mengandung. Setelah saya melahirkan, kami berdua akan menerima giliran kami. Biarkanlah saya melompati giliran kali ini.” “Tidak, saya tidak bisa mengganti giliranmu dengan rusa yang lain,” jawabnya, “kamu harus menerima peruntunganmu sendiri. Pergilah!” Tidak mendapat bantuan dari Rusa Cabang, rusa betina itu mencari Bodhisatta dan menceritakan masalah yang ia hadapi. Bodhisatta menjawab, “Baik, pergilah, saya berjanji engkau telah melewati giliran tersebut.” Bersamaan itu, ia pergi ke tempat pelaksanaan hukuman mati dan membaringkan dirinya dengan kepala berada di atas balok. Koki berteriak saat melihat Rusa Beringin itu, “Mengapa Raja Rusa yang mendapat kekebalan itu bisa berada di sini? Apa maksud kejadian ini?” Ia segera berlari menemui raja dan menceritakan hal tersebut. Mendengar kejadian itu, raja naik kereta perangnya dan tiba bersama sejumlah pengawal. “Raja Rusa temanku,” ia berkata sambil memandang Bodhisatta, “bukankah saya telah menjanjikan kehidupan untukmu? Mengapa engkau bisa berbaring di sini?”

     “Paduka, seekor rusa betina yang sedang hamil tua datang menghadapku, memohon agar gilirannya digantikan oleh rusa lain; karena saya tidak bisa memindahkan kematian dari satu rusa ke rusa yang lain, maka saya menukarkan nyawa saya untuknya dan kematiannya untuk saya dengan berbaring di sini. Jangan berpikir ada alasan lain untuk tindakan ini, Paduka.”

     “Raja Rusa Emas,” kata Raja, “saya belum pernah melihat, bahkan di antara para manusia, seseorang dengan kebaikan hati, cinta kasih dan belas kasih sebesar yang engkau miliki. Hal ini membuat saya merasa senang terhadap keberadaanmu. Bangkitlah! Saya bebaskan nyawamu dan nyawa rusa betina itu.”

     “Meskipun dua nyawa telah diselamatkan, apa yang akan terjadi pada rusa-rusa lainnya, wahai Raja Para Manusia?” “Akan saya bebaskan juga nyawa mereka, Raja Rusa.” “Paduka, hanya rusa di taman peristirahatanmu yang bebas dari hukuman mati, apa yang akan terjadi pada semua rusa lain yang ada?” “Nyawa mereka akan saya bebaskan juga, Raja Rusa.” “Paduka, rusa-rusa akan aman; namun, apa yang akan terjadi pada makhluk berkaki empat lainnya?” “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, makhluk-makhluk berkaki empat akan merasa aman, namun apa yang akan terjadi pada kawanan burung?” “Nyawa mereka juga akan saya bebaskan, Raja Rusa.” “Paduka, burung-burung akan aman, bagaimana dengan ikan-ikan yang hidup di air?” “Saya akan membebaskan nyawa mereka juga, Raja Rusa.”

     Setelah memohon pengampunan Raja atas nama seluruh makhluk hidup, makhluk yang agung itu pun bangkit, ia mengukuhkan lima latihan moralitas (Pañca Sīla) kepada raja, dan berkata, “Berjalanlah di jalan kebenaran, Raja yang agung. Berjalan di jalan kebenaran dan keadilan untuk orang tua, anakanak, orang-orang kota dan para penduduk desa, sehingga saat raga ini hancur, engkau akan memasuki alam bahagia.” Dengan keagungan dan ketulusan yang merupakan tanda-tanda dari seorang Buddha, ia membabarkan Kebenaran kepada raja. Selama beberapa hari ia tinggal di taman peristirahatan raja atas perintah raja, kemudian kembali ke hutan bersama kawanan rusa pengikutnya.

     Rusa betina itu melahirkan seekor anak rusa yang cantik, seperti kuncup teratai yang hendak mekar. Anak rusa itu sering bermain bersama Rusa Cabang. Melihat itu, ibunya berkata, “Anakku, jangan bermain bersama Rusa Cabang, bermainlah bersama kawanan Rusa Beringin.” Dengan tujuan menasihati anaknya, ia mengulangi syair berikut ini :

                Tetaplah berada di dekat Rusa Beringin, dan hindari
                bersama kawanan Rusa Cabang;
                Lebih banyak kebahagiaan, jauh dari kematian, Anakku,
                bersama dengan Rusa Beringin, dibanding syarat-syarat
                hidup yang berlebihan dari Rusa Cabang.

     Setelah itu, rusa-rusa yang mendapat kekebalan, makan hasil panen manusia, dan para manusia, yang mengingat kekebalan yang dianugerahkan kepada mereka, tidak berani memukul atau menggiring pergi rusa-rusa itu. Mereka berkumpul di ruang pengadilan kerajaan dan menyampaikan masalah itu kepada raja. Raja berkata, “Saat Rusa Beringin mendapatkan bantuanku, saya telah menjanjikan anugerah untuknya. Lebih baik saya melepaskan kerajaan dari pada menarik kembali janji yang telah saya ucapkan. Pergilah! Tidak boleh ada orang di kerajaanku yang melukai rusa-rusa itu.”

     Saat kabar itu terdengar oleh Rusa Beringin, ia mengumpulkan semua kawanan rusanya, dan berkata, “Mulai saat ini, kalian tidak boleh makan hasil panen para manusia.” Setelah memberi larangan pada rusa-rusa itu, ia mengirimkan pesan kepada manusia, yang berbunyi, “Mulai hari ini, para petani tidak perlu memagari ladang mereka, namun berikan tanda berupa daun yang diikatkan di sekeliling ladang.” Sebagaimana yang kita ketahui, sejak adanya ide mengikat dedaunan untuk menandai ladang-ladang, tidak ada lagi rusa yang memasuki ladang-ladang yang telah ditandai. Semua itu berkat petunjuk yang diberikan oleh Bodhisatta.

     Setelah memberikan nasihat kepada kawanan rusa itu, dan setelah hidup cukup lama, akhirnya Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya. Demikian juga dengan raja yang mematuhi ajaran Bodhisatta, setelah menghabiskan hidup dengan melakukan kebaikan, ia meninggal dunia dan terlahir kembali sesuai dengan karmanya.

---------------------------

     Setelah uraian itu berakhir, Sang Buddha mengulangi bahwa saat ini, sama di seperti di kelahiran lampau, Beliau telah menyelamatkan sepasang nyawa, kemudian Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Setelah itu Sang Bhagawan mempertautkan kedua kisah tersebut, dan menjelaskan kelahiran itu dengan berkata, “Devadatta adalah Rusa Cabang, dan pengikutnya adalah pengikut Rusa Cabang; bhikkhuni itu adalah rusa betina di masa itu, dan Kassapa adalah anak rusa betina itu; Ānanda adalah raja tersebut; dan Saya sendiri adalah Raja Rusa Beringin.”

Inti cerita adalah:

  • Moralitas.
  • Bergaullah dengan org yang bijak.
  • Kasih Sayang.